August 30, 2007

nasionalisme kita


Mengurai Kembali Nasionalisme Kaum Muda
Oleh : M. Sya’roni Rofii*

Enam puluh dua tahun yang lalu para pahlawan kita memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, merebut kedaulatan negara dari tangan penjajah. Sebuah perjuangan yang melelahkan dan penuh pengorbanan, namun tidak pernah sedikitpun mengurangi dedikasi mereka kepada ibu pertiwi. Selain menggunakan perjuangan militer para penemu bangsa ini juga menggunakan jalur diplomasi. Mereka berjuang dengan cara mereka masing-masing tetapi memiliki spirit yang sama, yakni menggenggam kembali kedaulatan tanah air.

Dengan menempuh lika-liku perjuangan, tepat pada tanggal 17 Agustus 1945, dua orang bapak proklamator, Sukarno-Hatta, berdiri tegak mengumandangkan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Mendeklarasikan titik kulminasi perjuangan bangsa Indonesia. Dalam proklamasi yang singkat dan terburu-buru yang bertempat di pekarangan rumah Sukarno di Jakarta itu memiliki arti penting dalam sejarah Indonesia, sekaligus menjadi sintesis sejarah dialektika kaum muda dengan kaum tua yang memiliki prinisp yang sama namun berbeda cara pandang. Sebab sebelum menuju ke arah proklamasi, setelah Jepang tuduk kepada sekutu, Jepang menjadi boneka sekutu dengan memerintahkan mereka untuk mengamankan status quo dengan tujuan untuk melanjutkan estapet penjajahan selanjutnya. Namun berkat kesadaran para pemuda Indonesia, maka terjadilah peristiwa Rengasdeklok, momen dimana para kaum tua “kalah” oleh kaum muda. Akhirnya, proklamasi kemerdekaan Indonesia pun berjalan sesuai rencana para pemuda –setelah proklamasi dibacakan langkah Jepang selanjutnya adalah menjegal publikasi kemerdekaan kedaerah-daerah lain, tapi berkat jasa kurir pemuda Indonesia juga berita itu bisa sampai di kota-kota lain di Jawa.

Dengan dideklarasikannya kemerdekaan Indonesia, maka terpotonglah garis penjajahan. Indonesia menjadi negara baru sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia itu kemudian menjadi awal sebuah pemerintahan yang dipimpin oleh putra bangsa dibawah kepemimpinan Presden Sukarno dengan didampingi oleh wakilnya Mohammad Hatta.

Benedict Anderson, seorang antropolog Barat yang ahli Indonesia, melihat nasionalisme bangsa Indonesia sebagai sesuatu yang unik, yakni bangsa Indonesia memiliki kesamaan imaji meskipun terdiri dari berbagai suku bangsa dari Sabang sampai Merauke, yang ia istilahkan dengan, immaginated communities (komunitas imajiner). Nasionalisme Indonesia dalam proses pembentukkannya pun tidaklah sulit.

Terlepas dari bagaimana nasionalisme Indonesia terbentuk, yang jelas, saat ini negeri kita sedang dihadapkan pada persoalan serius menyangkut kedaulatan negara Indonesia. Di sana-sini dengan mudahnya oknum yang tidak berpikir panjang menyuarakan suara-suara separatisme, memiliki napsu untuk memisahkan diri dari NKRI. Nasionalisme kita tidak sekokoh enam puluh dua tahun yang lalu. Hal ini menjadi isyarat bahwa masih banyak entitas-entitas yang merasa belum memiliki ikatan kuat dengan Indonesia.

Salah satu simbol kehormatan yang dimiliki bangsa Indonesia adalah sang saka Merah Putih, bendera dua warna ini memiliki tempat tersendiri di hati rakyat Indonesia. Menghina Merah Putih berarti menghina Indonesia, perasaan serupa juga dirasakan oleh negara-bangsa lain di seluruh penjuru dunia. Maka, tindakan yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggunggjawab di beberapa daerah di Indonesia dengan menurunkan bahkan membakar simbol negara layak untuk dikecam dan diberi sanksi sesuai ketentuang undang-undang.

Disamping fenomena separatis yang akhir-akhir ini marak terdengar, persoalan yang juga tidak kalah menariknya adalah bagaimana pandangan anak muda kita melihat bangsa Indonesia dan bagaiaman pula upaya pemerintah dalam melakukan konservasi budaya nasionalisme generasi muda. Sebab suka atau tidak suka, tongkat estapet nasionalisme akan dilanjutkan oleh pemuda Indonesia.

Langkah yang dilakukan Presiden SBY melalui staf kenegaraan dengan mengundang dua Band anak bangsa, Coklat dan Samsons untuk menciptakan video klip kebangsaan yang memiliki kaitan erat dengan momentum nasionalisme sekaligus sebagai penghormatan atas kontingen Garuda yang sedang menjalankan tugas kenegaraan di daerah konflik Timur Tengah dibawah bendera PBB patut diacungi jempol. Pendekatan dengan memanfaatkan ikon anak muda, seperti Band, untuk konteks saat ini sangatlah tepat. Karena nasionalisme bisa datang dari mana saja. Setiap generasi memiliki cara sendiri untuk merefleksikan nilai-nilai nasionalisme. Tinggal bagaimana pemerintah menafsirkan gejala nasionalisme yang terjadi di kalangan anak muda kemudian mengelolanya menjadi nasionalisme ‘aplikatif’, artinya pemerintah harus mengisi ruang-ruang nasionalisme itu dengan hal-hal yang mampu mengarahkan anak muda untuk dapat mencintai warisan sejarah bangsanya.

Sebab, berbicara nasionalisme percuma saja, jika pemerintah sendiri belum mampu sepenuhnya menjaga dan melakukan konservasi atas symbol dan kultur nasionalisme kita. Museum-musem banyak yang tidak terawat sehingga generasi muda enggan untuk mendatanginya; artefak atau warisan kebudayaan lainnya banyak diperjualbelikan oleh oknum-oknum yang dililit oleh kesulitan ekonomi; kurikulum sejarah kita yang masih saja simpang siur, dan lain lain.

Kiranya, dengan dirayakannya ulang tahun kemerdekaan NKRI yang ke enam puluh dua dapat menjadi lokomotif kebangkitan Indonesia, menjadi inspirasi bagi pemerintah untuk terus-menerus membenahi kemerdekaan dan dapat menghadapi segala macam persoalan dengan cara yang lebih bijak dan tentunya dewasa seabagaimana usianya.