September 6, 2008

OSWALDO DE RIVERO: Potret Kegelisahan Negara-negara Miskin

OSWALDO: Potret Kegelisahan Negara-negara Miskin
Oleh: M. Sya’roni Rofii

Kisah dan renungan Oswaldo dapat dilihat dalam:
Judul : Mitos Perkembangan Negara
Penulis : Oswaldo de Rivero
Penerjemah : M. Sya’roni Rofii
Penerbit : Pustaka Pelajar
Cetakan : I, Agustus 2008
Halaman :-

Suatu saat di sebuah negeri makmur bernama Peru, Amerika Latin, terlihat kekayaan alam yang melimpah ruah loh jinawi: negeri itu dikaruniai Tuhan berbagai macam sumber daya alam yang, kalau bisa dikelola dapat memberikan jaminan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Peru dari generasi ke generasi. Namun, kisah itu bukan berakhir bahagia, namun sebaliknya mereka kini tak ubahnya negeri terkutuk nan menyedihkan oleh kekayaannya sendiri: kemiskinan merajalela, pengangguran semakin bertambah, jumlah penduduk yang tak terkontrol, kerusakan lingkungan disana-sini.

Mereka punya kekayaan alam yang melimpah ruah, namun kini semua itu adalah milik segelintir orang yang berprofesi sebagai para pemodal asing. Dalam skala makro derita itu akibat ketidakadilan pada ranah internasional yang dilegitimasi IMF, WTO dan Bank Dunia. Peru dipaksa berkompetisi dengan negara-negara maju, seperti seorang anak SD dipaksa bersaing dalam urusan perdagangan dengan para sarjana ekonomi. Siswa SD itu adalah negara-negara miskin seperti Peru, sedangkan negara-negara maju adalah para sarjana. Jelas anak SD kalah, dan kekalahannya itu disusul dengan intimidasi secara perlahan namun mematikan. Ketidakadilan pada tingkat legislasi internasional itu disaksikan sendiri oleh Oswaldo karena ia merupakan dubes/perwakilan Peru di PBB.

Mendengar keluh kesah Oswaldo ternyata tidak ada bedanya dengan yang kita hadapi hari ini, derita tiada akhir Indonesia persis sama dengan yang dialami Peru. Kita sejak usia anak-anak diceritakan tentang kekayaan alam Nusantara dari sabang sampai Merauke. Namun, kekayaan itu tidak bisa kita nikmati, buktinya: kita punya ladang minyak di beberapa tempat tapi saat BBM naik kita malah ribut, sebab ladang minyak sudah menjadi milik orang lain; saat panen padi seharusnya para petani sangat bergembira dan makmur tapi itu tidak terjadi karena scenario internasional dan kelemahan pemerintah dalam hal proteksi, pemerintah malah mengimpor dari Thailand; biaya pendidikan tiap tahun dinaikkan; sudah dapat pendidikan, pekerjaan alangkah susah untuk didapat. Seburuk itukah kondisi kita? Lebih menyedihkan dari kisah Peru kah? Lantas menjadi kewajiban siapa untuk mengeluarkan ibu pertiwi dari jerat kesengsaaraan? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing, untuk tidak memilih calon pemimpin pada pemilu 2009 yang tidak bersedia mengerti keinginan rakyat.
MENGABDI DI NEGERI ILUSI: INDONESIA
(Renungan Kisah “Pengabdian Tanpa Batas,” Metro TV)
Oleh: M. Sya’roni Rofii

Menyaksikan tayangan metro tv edisi kemarin, 05/09/09 mengenai pengabdian beberapa orang kepada komunitasnya masing-masing, membuat kita sedih, terharu, marah dan tak bisa berbuat banyak. Di tengah keramaian orang-orang aneh yang sedang sibuk dengan ritual lima tahunan yang kita kenal dengan istilah pemilu, terbersit sedikit cerita dari akar rumput tentang pengabdian seseorang pada cita-cita, mereka adalah orang-orang langka di negeri ini. Seperti apa mereka?

Pertama, “Ada pasien yang tidak sanggup membayar saya dengan uang, tapi sebagai gantinya pihak pasien memberikan sebentuk materi untuk melengkapi kebutuhan sekolah darurat, dan bagi saya kesehatan mereka lebih penting daripada gaji saya, bahkan dengan uang yang saya terima dari pasien saya gunakan untuk membayar para petugas,” (kira-kira seperti itu ungkapan ibu bidan). Ibu Bidan (sebut saja seperti itu, sebab saya lupa namanya), menggambarkan potret perjuangan seorang wanita melawan derasnya arus di ibu kota. Bertahan menahan kerasnya benturan antara pengabdian dan penghasilan yang tidak mudah untuk menegosiasikan keduanya di tengah iklim perkotaan (Jakarta) yang kelihataannya tidak lagi manusiawi. Ia menyaksikan kemiskinan sangat dekat, ia dikelilingi senyum tawa anak-anak miskin di tempat kumuh.

Sebagai seorang abdi kesehatan ia mengesampingkan kepentingan pribadi untuk orang lain, seperti ketika ia menceritakan bahwa suatu hari di rumah sakit, ia datang bersama seorang pasien dari daerah kumuh tempat dimana Ibu Bidan mengabdi, kedatangannya ke rumah sakit tentunya untuk mendapatkan jasa kesehatan, namun apa hendak dikata, di rumah sakit ia harus berhadapan dengan skema administrasi birokrasi yang tidak memberikan tempat bagi orang miskin, mereka akan mendapatkan jasa kesehatan jika memiliki jaminan untuk membayar, akhirnya ibu bidan sendiri yang mengeluarkan uangnya untuk menjamin si miskin mendapatkan hak untuk diobati, seakan orang miskin dilarang sakit di negeri ini.

Tidak berhenti sampai di situ, selain sebagai abdi kesehatan ia juga menjadi penerobos di tengah kebuntuan dan ketidakpedulian pemerintah setempat, ia membentuk sekolah untuk anak-anak--meski pada awalnya sekolah itu merupakan kandang kambing dan tidak diperbolehkan oleh si pemilik untuk dijadikan sekolah--, mencoba memberikan pencerahan dari sisi pendidikan untuk masa depan anak-anak tadi.

Kedua, tidak kalah mengharukan dengan kisah ibu bidan, kisah lainnya adalah saat seorang guru mengambil inisiatif untuk memberikan kontribusi pendidikan bagi lingkungan sekitaranya. Guru itu bernama Haji Soleh, berasal dari sebuah tempat kumuh di Surabaya, sialnya tempat kumuh itu merupakan tempat jajanan para lelaki hidung belang: tempat mesum prostitusi.

Untuk sebuah cita-cita Haji Soleh mewakafkan dirinya untuk pendidikan, sebagai konsekuensinya ia harus merangkap menjadi guru agama, kepala sekolah, tukang bersih-bersih dan sekaligus menjadi makelar (kepala sekolah menjadi makelar tentunya sangat aneh tapi baginya makelar lebih mulia karena masih halal, mirip dengan kisah episode lain Kick Andy yang mengangkap potret kepala sekolah menjadi pemulung). Ia rela tidak digaji yang terpenting adalah bagaimana supaya anak-anak di lingkaran kemesuman itu memperoleh pendidikan dan pencerahaan agama dan akhlak. Kelihatannya H. Soleh juga tidak pernah masuk dalam data pemerintah dan tidak akan pernah mendapatkan subsidi pendidikan yang sampai sekarang diperjuangkan agar berjumlah 20 %. Sederhananya kepala sekolah yang makelar ini ingin melihat masa depan anak-anak yang ada dilingkungan kumuh itu kelak menjadi anak yang berguna. “Saya mewajibkan peserta didik saya untuk tidak membayar biaya pendidikan, yang penting mereka mau sekolah dan menjadi anak yang sukses, masalah biaya biar saya sendiri yang mengusahakan bagaimanapun caranya yang penting halal”.

Kisah inspiratif episode ini kemudian diakhiri dengan potret seseorang berkebangsaan Jerman yang mengabdikan dirinya sejak tahun 1960-an untuk merawat para penderita kusta di NTT yang juga tidak kalah menyedihkan.

Kira-kira seperti itulah ulasan singkatnya. Semoga anda yang kebetulah lebih dahulu menjadi “Jutawan” bisa berbuat lebih dari itu. Untuk mencari tahu lebih banyak tentang episode ini kunjungi saja situs Metro TV (kalo ga salah
www.metrotv.com, saya bukan agen marketing metrotv lho…hi..hi). Kisah di atas penting untuk dijadikan bahan renungan bersama untuk membangun Indonesia lebih baik.