November 30, 2010

Pak SBY Belum (Sepenuhnya) Paham Demokrasi dan Monarki

12911130871094836363

Pak SBY dalam sebuah pidato (sumber/google)

Tiba-tiba saja Presiden SBY bicara monarki di depan para menterinya dalam sebuah rapat kabinet. Dengan ekspressi serius Pak SBY berbicara panjang lebar tentang demokrasi dan tidak boleh ada monarki yang bertentangan dengan konstitusi dan nilai demokrasi yang tengah berjalan. Pernyataan di ruang rapat itu disorot media, disaksikan seluruh rakyat Indonesia, tidak terkecuali masyarakat Yogyakarta dan setiap orang yang memiliki kedekatan dengan Yogyakarta. Dan, Sultan beserta masyarakat Yogya lah yang paling merasa disebut terkait pernyataan itu. Lho kok, Pak SBY tiba-tiba bicara monarki? Apa gerangan?

Pernyataan Pak SBY mendapat kritik dari sejumlah pihak, mulai dari pengamat pemerintahan, pengamat konstitusi, sosiolog, tokoh bangsa dan tidak terkeculai lawan politik Pak SBY. Tapi dari perspektif masyarakat biasa seperti kita yang tidak pernah menganggap dan dianggap lawan politik Pak SBY, bahwa pernyataan Pak SBY sangat tidak tepat, mengapa, alasannya adalah:

1. Setiap orang di negeri ini paham betul posisi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai salah satu Daerah Istimewa di Indonesia, tidak ada protes dari masyarakat Indonesia tentang penggunaan kata “Istimewa” bagi provinsi ini, sejak duduk di bangku sekolah kita hapal betul di Indonesia hanya ada tiga daerah yang punya nama sendiri yakni DKI, DIY, NAD. Tidak ada masalah sampai di situ.

2. Yogyakarta dalam sejarah republik ini tidak pernah menjadi daerah terjajah oleh bangsa asing, bisa saja Sultan HB IX mengabaikan nasib NKRI dengan menikmati fasilitas-fasilitas istimewa yang diberikan Belanda karena menghargai institusi Kraton, tetapi Sultan HB IX justru memilih menderita bersama-sama dengan masyarakat NKRI yang lain. Itulah alasan mengapa Yogyakarta tahun 1945-47 bersedia menjadi Ibu Kota cadangan “Ibu Kota Revolusi” sementara Belanda belum berhenti melakukan agresi di Indonesia.

3. Sejumlah pengamat sejarah juga meyakini bahwa DIY mendapat predikat istimewa atas jasa besarnya untuk menyelamatkan kemerdekaan Indonesia yang kala itu masih seumur jagung. Kita sarankan agar para pengambil kebijakan untuk melihat-lihat kembali data sejarah agar tidak “ngawur” dalam bicara.

4. Ketika Pak SBY berbicara Demokrasi dan menganggap masih ada sistem monarki yang bertentangan dengan nilai demokrasi dan konstitusi di Indonesia. Kita patut bertanya, bukankah selama ini di Yogyakarta praktek demokrasi berjalan terus tanpa harus menggusur Kraton. Sultan bekerja sebagai gubernur, urusan legislasi diatur DPRD, mekanisme pemilihan wakil rakyat melalui pemilu. Pak SBY lupa, di Inggris, Thailand, Malaysia, monarki masih berjalan sebagaimana biasanya dan tidak digusur lantaran demokrasi hendak dilaksanakan. Dan tidak ada persoalan bukan?

5. Barangkali, karena RUUK DIY sedang menjadi agenda legislasi di DPR yang sebelumnya terkatung-katung, Pak SBY ingin menyemarakkan legislasi itu dan DPR serius membahasnya. Entahlah, tetapi tetap saja pernyataan Pak SBY yang terlalu “teoritis tentang demokrasi” membuat banyak orang tidak nyaman mendengar pernyataan itu karena NKRI menjadi pertaruhan.

Akhir kata, perkataan dan ucapan pejabat publik sangat mempengaruhi situasi republik ini, damai atau ribut ditentukan oleh kecakapan pejabat publik mengelola perkataannya.

12911136671018670535

Kraton sebagai simbol monarki Yogyakarta (photo/yahoo)

Sebelumnya saya posting di Kompasiana, 17.45

November 27, 2010

Cukup, !0 BUMN Jangan Dijual Lagi!

12907667361641391206

Suasana saat penjualan saham Krakatau Steel (photo/google)

Pemerintah melalui kementerian BUMN berencana akan menjual tujuh sampai sepuluh BUMN lagi. Berita yang dilansir situs kompas itu membuat saya lantas bertanya-tanya, tidakkah pemerintah mendengar suara-suara kecewa dari rakyatnya yang menolak keras segala sesuatu yang berbau penjualan? Tampaknya ekspressi pemerintah melalui kementerian BUMN biasa-biasa saja dan tidak peduli dengan suara kecewa itu.

Publik masih ingat betul bagaimana Krakatau Steel (KS) akhirnya dilepas dengan persiapan yang tidak begitu matang. Mekanisme IPO dengan harga saham Rp 850 dianggap terlalu murah bagi kebanyakan orang. Orang awampun sangat paham 850 adalah harga sebatang rokok bagi mereka yang merokok, satu sachet sabun cuci bagi ibu rumah tangga, seharga es krim atau permen karet yang biasa dibeli anak-anak SD dekat tempat saya tinggal. Argumen pemerintah saat itu, KS layak dijual seharga sebatang rokok karena pertimbangan pasar yang menghendaki harga seperti itu.

Tapi, akal-akalan pemerintah seakan terjawab oleh fakta di lapangan, karena setelah KS dilepas, harga 850 melambung menjadi 1.250 rupiah, meningkat menjadi 1.750 dan diprediksi akan terus meningkat. Peningkatan itu tidak lepas dari reputasi KS sebagai perusahaan pabrik baja bertaraf internasional. Belakangan, tersiar kabar 40 persen saham KS ternyata telah dipesan perusahaan mirip KS milik pemerintah Korsel, pesanan datang juga dari sejumlah politisi Senayan, sementara sisanya untuk dijual ke publik agar akal-akalan pemerintah tertutupi-analisa ini saya dapati saat menyaksikan Metro Realitas.

Jangan Dijual Bung!

Saya tidak begitu paham dengan dunia saham dan tetek bengek nya, tapi yang saya dan kita semua tahu menjual barang berharga dan sangat berpotensi adalah kesalahan terbesar dalam kehidupan sehari-hari dan tentu dalam kehidupan bernegara. Masih ingatkah kita drama penjualan Indosat satu dasawarsa lalu? Akibat penjualan Indosat ke Singapura, belakangan pemerintah Indonesia hanya bisa menonton saja gerak perkembangan Indosat yang begitu pesat, bahkan pemerintah Singapura menjual kembali dengan harga berlipat-lipat ke perusahaan Arab. Sebelum itu, pemerintah Indonesia juga harus rela setiap kali warganya yang berjumlah ratusan juta sms atau telepon dengan operator Indosat bisa dipastikan keuntungan itu masuk ke kantong-kantong orang asing. Ironis bukan?

Indosat ketika hendak dijual mendapat protes, KS juga sama, tetapi begitulah pemerintah, tidak pernah belajar dari yang lalu-lalu. Kali ini, alasan pemerintah menjual sisa BUMN yang ada seperti PT. Angkasa Pura (pengelola bandara), PT. Pelindo, karena melihat penjualan sebagai satu-satunya langkah agar BUMN bisa tetap berproduksi, menteri BUMN, pak Abu Bakar, mencontohkan kinerja Garuda dan Mandiri yang lebih gesit ketika sudah dilepas ke publik. Haruskah BUMN dijual jika belum memiliki performa baik, bukankah jika performa tidak baik tinggal mengganti orang-orang yang mengurus BUMN itu? Jika kekurangan modal, kenapa tidak memaksimalkan pajak masyarakat? Mengingat pajak ratusan juta rakyat Indonesia lebih dari cukup untuk menyuntik BUMN strategis-tentu, dengan syarat orang-orang berprilaku seperti Gayus harus disingkirkan bila perlu diasingkan ke pulau-pulau terluar.

Saya dan kita semua percaya bahwa menjual BUMN sekali lagi bukanlah pilihan yang tepat, ada banyak contoh negara yang tetap mempertahankan BUMN sebagai jantung ekonomi nasional, sebut saja Rusia yang konsisten menjaga BUMN strategisnya dan mereka berhasil.

Saya juga semakin percaya menjual hanyalah sikap “inferior” dan ketidakcakapan pejabat publik mengelola negara, bahkan mereka yang bertahun-tahun mengkaji ekonomi toh tidak setuju dengan pandangan “menjual BUMN” itu, sebut saja Prof. Sri Edi Swasono, Prof. Amin Rais, Prof. Budi Winarno, Kwik Kian Gie, Revrisond Baswir, Saparini, dan ahli ekonomi lain yang anti-jual (lainnya disini).

Sekali lagi, apakah kita masih rela, kejadian menelpon berjam-jam dan SMS berkali-kali tetapi semua keuntungan diraup asing. Semua itu pasti terjadi lagi jika semua barang milik negara diobral ke pihak asing.

November 24, 2010

Kini, Giliran India Beli Inggris

12904169851509050104

Seperti inilah kondisi yang dihadapi sejumlah klub Inggris saat ini (ilustrasi/google)

Jelang peluit panjang tanda pertandingan Blacburn Rovers kontra Aston Villa akan dimulai, pada lanjutan liga primer Inggris tadi malam dua orang berwajah India dengan stelan rapi mengenakan jas hitam layaknya para eksektutif Inggris berjalan dengan percaya diri tinggi di tengah lapangan. Keduanya melambaikan tangan ke arah supporter, supporter di tribun berteriak kegirangan sembari bertepuk tangan meriah seakan menyambut kehadiran sosok pahlawan.

Barangkali tidak berlebihan bagi supporter Blacburn untuk menyebut dua orang tadi sebagai pahlawan, sebab kedepan mereka pasti akan menjadi pahlawan untuk mengangkat drajat klub kecintaan mereka. Dua orang tadi sekaligus menjadi simbol bahwa klub itu telah resmi mendapatkan pemilik baru. Siapa pemilik baru itu?

Ternyata pemiliknya adalah Rao seorang pengusaha asal India yang memiliki perusahaan bernama Venky London Limited. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang penjualan hewan unggas, produk kesehatan dan sektor lainnya.

Keluarga Rao seperti diberitakan sejumlah media Inggris seperti Reuters misalnya menyebutkan bahwa Rao membeli 99.9 persen saham klub papan tengah Inggris itu, kabarnya setelah melakukan pembelian seharga Rp 320 miliar dua hari sebelumnya, pemilik klub akan melakukan perubahan-perubahan penting dalam waktu dekat. Perubahan yang paling mencolok pastinya adalah penggantian nama stadiun sesuai selera pemilik.

Kabar terjualnya klub Blacburn menambah deretan panjang nama-nama asing yang membeli klub Inggris, para penggemar bola tentu masih ingat trend beberapa tahun lalu ketika Chelsea dibeli Roman Abrahamovic seorang taipan minyak asal Rusia, mantan PM Thailand Thaksin Sinawatra yang membeli Manchester City, Liverpool yang akhirnya jatuh ke tangan pemilik asal AS beberapa minggu lalu, tidak lama sebelum penjualan Liverpool ada juga berita tentang penjualan Manchester City kepada perusahaan raksasa milik Syekh Sulayman Al-Fahim seorang pengusaha kaya raya yang memiliki usaha bidang telekomunikasi dan belakangan menekuni dunia penerbangan.

Ada kecenderungan di Liga Inggris kedatangan pemilik baru disertai pula dengan ambisi besar dari sang pemilik, berapapun uang yang dibutuhkan sang pemilik siap mengguyurkan. Chelsea di bawah kendali Abrahamovic enam tahun lalu menggelontorkan milyaran rupiah untuk belanja pemain sesuai selera sang pelatih–saat itu Jose Mourinho. Alhasil, Chelsea secara drastis menjadi klub elit Inggris, klub yang sangat disegani di Eropa dan merambah dunia. Sukses ini hendak ditiru pemilik baru Manchester City dengan teori yang sama “gelontorkan dollar, raih trophi”, namun sayang Man City belum beruntung, klub asal sekota Manchester United itu hanya mampu finish di posisi lima besar musim lalu.

Pembelian klub Blacburn oleh pengusaha asal India itu menandakan bahwa Liga Inggris memang menjadi pusat perhatian banyak orang, tidak hanya pengamat dan penggemar bola, tetapi juga para pelaku usaha yang melihat bola dan lapangan hijau adalah investasi. Blackburn oleh pemilik baru direncakan akan diarahkan untuk menciptakan brand internasional.

Tidak menutup kemungkinan jejak pengusaha asal India ini akan diikuti oleh sejumlah investor yang begitu tertarik dengan klub Inggris, bahkan sebelum Liverpool terjual beberapa waktu lalu, pengusaha asal daratan China siap-siap menjadi pembeli pertama klub yang bermarkas di Anfield itu.

Penjualan klub Inggris ke beberapa pengusaha asing sempat mendapat kritik dari sejumlah pihak, kritik itu seputar tidak sehatnya kompetisi lantaran pemilik baru hanya mementingkan hasil, memiliki teori “gelontorkan dollar, raih tropi” dan tidak melihat proses sama sekali, mereka begitu fragmatis, akibatnya pelatih-pelatih yang dianggap kurang mampu begitu mudah disingkirkan oleh sang pemilik. Kritik lainnya adalah, pemilik asing yang mementingkan hasil cenderung mencari pemain yang sudah berprestasi di Liga lain, akibatnya generasi muda Inggris terisisihkan begitu saja jika tidak menonjol, imbas lainnya adalah Timnas Inggris mengalami krisis pemain berprestasi–anjloknya prestasi Inggris di EURO dan Piala Dunia adalah ekses negatif kondisi ini, begitu pendapat Michel Platini.

Akhir kata, begitulah iklim investasi dan dinamika Liga Inggris hari ini. Di satu sisi para pelaku sepakbola jika mereka berasal dari klub miskin sangat berhadap dapat kucuran dana segar untuk belanja pemain agar dapat bersaing dengan klub-klub lain yang terlebih dahulu kaya dan memiliki pemilik baru. Sementara di sisi lain, pemilik baru tidak lagi berbicara nasionalisme, mereka hanya berfikir investasi sepakbola di Inggris begitu menjanjikan.

Maka, siap-siap saja Pangeran Charles dan petinggi Inggris lainnya harus mengelus dada karena menyaksikan petandingan Liga Inggris di kampug sendiri dan membayar tiket kepada orang Amerika Serikat, Rusia, Thaiand, Arab, China dan disusul pemilik baru lainnya. Selamat membeli tiket.

Posting di kompasian, 22 November 2010

November 19, 2010

Wow, Rio Berhasil Lahap Formula One!

12900422421572682613

Rio dalam sebuah ajang, lengkap dengan sponsor asal tanah air, seperti Pertamina, Kompas dll (photo/kompas)

Akhirnya, Rio Haryanto mencatatkan diri sebagai pembalap Indonesia pertama yang mampu menjajal Formula satu. Berita olahraga yang disiarkan stasiusn tv tanah air pagi ini membuat saya begitu bersemangat melihat penampilan ciamik anak muda kelahiran Solo 1993 itu. Dengan percaya diri tinggi sirkuit Uni Emirat Arab dilahap habis, meskipun jet darat yang ditungganginya harus menyerah lantaran permasalah gearbox pada putaran ke 21.

Sejauh ini, pihak Virgin, klub formula asal Inggris melalui managernya merasa puas dengan penampilan Rio yang masih sangat muda, bagi mereka penampilan Rio luar biasa karena sebelumnya tidak pernah menjajal sirkuit ini seperti pembalap kebanyakan dan dia sukses berlatih, bahkan tidak tanggung-tanggung sang manajer menjanjikan Rio untuk bisa menjajal F1 tahun depan di sirkuit berbeda.

Menjajal F! sekaligus meningkatkan prestige Rio yang sebelumnya menduduki posisi lima pada GP3, padahal sebelumnya ia hanya duduk di posisi 15. Yang membuat kita bangga adalah Rio seringkali mengangkat tropi untuk kejuaraan dunia di podium utama balap level GP3 sehingga bendera Merah Putih sangat diperhitungkan dalam ajang ini.

Setidaknya dengan penjajakan awal F1 bisa mengantarkan Rio menapaki kelas bergengsi di F1. Mengikuti jejak pembalap legendaris semisal Michael Schumacer yang mengharumkan nama Jerman di musim-musim sebelumnya. Sukses buat Rio!

November 18, 2010

Berkurban Bukan Semata Menyembelih

12899099201895089488
Periksa kesehatan: salah satu hewan kurban favorit di tanah air (ilustrasi/google)

Idealnya pelaksanaan Idul Adha akan lebih sempurna jika diakhiri dengan menyembelih hewan kurban, tetapi apa hendak dikata kondisi ekonomi yang sulit tidak memungkinkan untuk melengkapi ibadah itu, barangkali kondisi inilah yang dihadapi sebagian besar masyarakat kita di negeri ini. Tak mampu berkurban apakah menjadi akhir dari segalanya? Tidak juga, sebab agama sangat fleksibel dalam hal ini.

Tradisi yang berkembang di masyarakat Muslim mensyaratkan hewan kurban adalah hewan ternak entah unta, sapi, kambing, domba atau hewan ternak lainnya, dengan harapan semakin besar kuantintas hewan kurban maka skala berbaginya semakin luas pula. Bisa memberikan kemanfaatan bagi lingkungan sekitar lebih luas.

Teladan dalam melaksanakan hari raya kurban ini adalah merujuk kepada apa yang dilakukan Rasulullah SAW beberapa ratus tahun yang lalu, Rasul menjalankan ibadah Shalat Ied Adha seperti syarat dan rukun yang telah ditetapkan, kemudian usai melaksanakan shalat dilanjutkan dengan menyembelih hewan kurban yang sebelumnya telah dipersiapkan. Yang menarik dari Rasulullah adalah mempersiapkan dua ekor domba, satu diperuntukkan untuk mewakili diri dan keluarga dan satu lagi dipersiapkan untuk mewakili umatnya yang tidak mampu berkurban. Sehingga, saat menyembelih do’a dan niatnya pun merepresentasikan Rasul dan umatnya.

Mayoritas ulama’ Islam memang bersepakat untuk menjadikan penyembelihan hewan kurban sebagai sunnah muakkadah atau ibahadah yang penting untuk dilakukan.

Lantas apa makna dari berkurban? Apakah menjadi persembahan dari hamba kepada Sang Pencipta? Dalam tradisi masyarakat kuno yang ateis digambarkan persembahan adalah memberikan kurban bagi dewa-dewa dalam arti sebenarnya, sehingga persembahan diletakkan di gunung-gunung. Sementara dalam tradisi Islam prakteknya adalah usai melaksanakan aktifitas berkurban biasanya akan diakhiri dengan membagi-bagikan daging kurban kepada masyarakat sekitar. Jadi, dagingnya oleh umat, dari umat dan untuk umat. Tidak ada persembahan sama sekali.

Jawaban dari pertanyaan di atas jauh-jauh hari disebutkan secara jelas oleh Allah SWT dalam firmannya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS 22:37). Jadi, Allah tidak membutuhkan limpahan daging kurban nan lezat yang dipersembahkan hamba-Nya. Allah hanya menginginkan agar sesama hamba bisa saling berbagi kenikmatan antara yang kaya dengan si miskin. Bagi orang kaya daging adalah santapan biasa, tetapi bagi mereka yang miskin papa menyantap daging setahun sekali adalah anugrah Idul Adha.

Maka, bagi yang memiliki kelebihan harta dan mampu untuk berkurban tunjukkanlah keikhlasan dalam memberi kurban dengan niat untuk berbagi. Sebab, hanya niat baik dan ikhlaslah yang menjadi bukti ketakwaan dan kedekatan seorang hamba kepada Penciptanya. Sementara bagi yang tidak mampu, tak perlu khawatir, boleh jadi kurban dalam arti menyembelih kurban sudah terwakili oleh pemerintah pusat yang memang secara rutin menggelar pemotongan hewan kurban di Masjid Istiqlal, Jakarta.

Akhir kata, berkurban dalam arti menyembelih di hari raya Idul Adha adalah satu diantara sekian banyak kebajikan sosial yang bisa dilakukan oleh manusia untuk menunjukan rasa syukur kepada-Nya. Dan tentu kebajikan sosial lain harus terus dijaga dan dipupuk agar rasa berbagi kenikmatan antara yang satu dengan yang lain mampu meneguhkan rasa solidaritas sesama anak bangsa. Apalagi, ditengah situasi krisis dan bencana yang melanda tanah air. Selamat Hari Raya Idul Adha.

M Sya'roni Rofii, Kompasiana 17 November 2010

November 13, 2010

Setelah Gayus, Kini Mirip Hamka Yandhu

1289608745231303049

Seseorang mirip Yandhu keluar dari selnya (photo/kompas)

Hingga tadi malam saya masih terfikir tentang Gayus itu. Wajar Gayus terfikir terus karena dimana-mana orang-orang berbicara tentang Gayus, baik berupa informasi serius atau yang setengah serius, perhatikan saja beberapa hari yang lalu entah status facebook, twitter dan jejaring sosial lainnya tumpah ruah berbicara gayus.

Setelah membaca sekian banyak berita, akhirnya saya mengambil kesimpulan, ternyata gayus memang seperti belut yang susah sekali dipenjara dalam sel, ada saja triknya untuk bisa keluar dari genggaman polisi, apalagi kali ini ia keluar dari markas Brimod yang bisa jadi lebih angker dan tentu saja ketat. Untuk keluar sekiar 60 juta lebih dibagi-bagikan ke oknum.

Menurut pihak polri gayus telah keluar selama empat hari dari selnya, hari rabu pergi dan kembali karena dijemput di rumah pribadinya yang mewah itu pada minggu malam. Gayus dijemput paksa karena saat itu polri sedang sidak ke sel dan tidak menemukan gayus di dalamnya. Saking kesalnya, pak ito sumardi meminta kalau gayus macam-macam ditembak saja (berita detik kemarin).

Empat hari keluar dengan uang pelicin pada saat bersamaan di saat kejuaraan tenis internasional berlangsung, ada sosok yang mirip gayus, berkacama dan berambut panjang, photo itu diabadikan sejumlah wartawan. Peredaran photo mirip gayus itu menjadi topik terhangat akhir pekan ini, salah seorang kompasianer di twitternya menyebut itu bukan gayus tapi Afgan (saya sebut saja itu statusnya mas isjet). Ada lagi yang iseng dengan mengedit photo teman-temannya dengan memasangkan wig sehingga lawakan tentang gayus kian ramai (kompas, tadi malam).

Mirip Hamka Yandhu

Belum selesai bicara gayus kini topik bertambah dengan penampakan sosok mirip Hamka Yandhu yang terlibat dalam sebuah skandal korupsi perbankan. Salah seorang photografer media cetak di daerah mengabadikan momentum itu. Penyamaran kali ini tidak seheboh gayus karena tampilannya biasa saja, tidak mengenakan wig seperti gayus.

Terlepas dari tindak lanjut kasus ini, kita serahkan saja pada aparat yang berwenang. Tapi, yang kita sayangkan adalah peredaran uang haram itu kian menjadi-jadi di negeri ini. Uang hasil korupsi digunakan untuk menciptakan koruptor baru pada tingkat lebih rendah. Membeli pengabdian para penjaga sel dan aparat keamanan lainnya dengan uang haram hasil korupsi. Oknum penegak hukum juga seakan membiasakan diri menerima hasil korupsi dari para koruptor yang ditahan di tempat-tempat istimewa bagi penjahat elit seperti mako brimob kali ini. Bukankah ini seperti lingkaran setan?

Kiranya, kejadian ini bisa menjadi titik balik penegak hukum, bahwa penegak hukum tidak bisa main-main di negeri ini, sebab rakyatnya setiap hari memantau perkembangan berita tanah air seputar penegakan hukum yang masih saja seperti keong yang lambatnya berjalan minta ampun. Selamat berakhir pekan.


November 11, 2010

Transkrip Pidato Presiden Barack Obama di Universitas Indonesia

Obama mengawali kuliah umumnya dengan mengucapkan salam:"assalamu'alaikum, salam sejahtera, selamat pagi. pulang kampung nih," disertai dengan kenangan tentang bakso, sate dan kenangan lainnya. Namun agar bisa menangkap secara utuh pesan Obama berikut adalah transkrip pidato obama:

Rabu, 10 November 2010 12:20 WIB
Transkrip Pidato Presiden Barack Obama di Universitas Indonesia
Presiden AS ke-44 ini memuji toleransi beragama Indonesia dan semangat Bhineka Tunggal Ika.
Oleh : Barack Obama
Foto : Cable News Network

Remarks of President Barack Obama - As Prepared for Delivery

Jakarta, Indonesia

November 10, 2010

As Prepared for Delivery—



Thank you for this wonderful welcome. Thank you to the people of Jakarta. And thank you to the people of Indonesia.

I am so glad that I made it to Indonesia, and that Michelle was able to join me. We had a couple of false starts this year, but I was determined to visit a country that has meant so much to me. Unfortunately, it’s a fairly quick visit, but I look forward to coming back a year from now, when Indonesia hosts the East Asia Summit.

Before I go any further, I want to say that our thoughts and prayers are with all of those Indonesians affected by the recent tsunami and volcanic eruptions – particularly those who have lost loved ones, and those who have been displaced. As always, the United States stands with Indonesia in responding to this natural disaster, and we are pleased to be able to help as needed. As neighbors help neighbors and families take in the displaced, I know that the strength and resilience of the Indonesian people will pull you through once more.

Let me begin with a simple statement: Indonesia is a part of me. I first came to this country when my mother married an Indonesian man named Lolo Soetoro. As a young boy, I was coming to a different world. But the people of Indonesia quickly made me feel at home.

Jakarta looked very different in those days. The city was filled with buildings that were no more than a few stories tall. The Hotel Indonesia was one of the few high rises, and there was just one brand new shopping center called Sarinah. Betchaks outnumbered automobiles in those days, and the highway quickly gave way to unpaved roads and kampongs.

We moved to Menteng Dalam, where we lived in a small house with a mango tree out front. I learned to love Indonesia while flying kites, running along paddy fields, catching dragonflies, and buying satay and baso from the street vendors. Most of all, I remember the people – the old men and women who welcomed us with smiles; the children who made a foreigner feel like a neighbor; and the teachers who helped me learn about the wider world.

Because Indonesia is made up of thousands of islands, hundreds of languages, and people from scores of regions and ethnic groups, my times here helped me appreciate the common humanity of all people. And while my stepfather, like most Indonesians, was raised a Muslim, he firmly believed that all religions were worthy of respect. In this way, he reflected the spirit of religious tolerance that is enshrined in Indonesia’s Constitution, and that remains one of this country’s defining and inspiring characteristics.

I stayed here for four years – a time that helped shape my childhood; a time that saw the birth of my wonderful sister, Maya; and a time that made such an impression on my mother that she kept returning to Indonesia over the next twenty years to live, work and travel – pursuing her passion of promoting opportunity in Indonesia’s villages, particularly for women and girls. For her entire life, my mother held this place and its people close to her heart.

So much has changed in the four decades since I boarded a plane to move back to Hawaii. If you asked me – or any of my schoolmates who knew me back then – I don’t think any of us could have anticipated that I would one day come back to Jakarta as President of the United States. And few could have anticipated the remarkable story of Indonesia over these last four decades.

The Jakarta that I once knew has grown to a teeming city of nearly ten million, with skyscrapers that dwarf the Hotel Indonesia, and thriving centers of culture and commerce. While my Indonesian friends and I used to run in fields with water buffalo and goats, a new generation of Indonesians is among the most wired in the world – connected through cell phones and social networks. And while Indonesia as a young nation focused inward, a growing Indonesia now plays a key role in the Asia Pacific and the global economy.

This change extends to politics. When my step-father was a boy, he watched his own father and older brother leave home to fight and die in the struggle for Indonesian independence. I’m happy to be here on Heroes Day to honor the memory of so many Indonesians who have sacrificed on behalf of this great country.

When I moved to Jakarta, it was 1967, a time that followed great suffering and conflict in parts of this country. Even though my step-father had served in the Army, the violence and killing during that time of political upheaval was largely unknown to me because it was unspoken by my Indonesian family and friends. In my household, like so many others across Indonesia, it was an invisible presence. Indonesians had their independence, but fear was not far away.

In the years since then, Indonesia has charted its own course through an extraordinary democratic transformation – from the rule of an iron fist to the rule of the people. In recent years, the world has watched with hope and admiration, as Indonesians embraced the peaceful transfer of power and the direct election of leaders. And just as your democracy is symbolized by your elected President and legislature, your democracy is sustained and fortified by its checks and balances: a dynamic civil society; political parties and unions; a vibrant media and engaged citizens who have ensured that – in Indonesia -- there will be no turning back.

But even as this land of my youth has changed in so many ways, those things that I learned to love about Indonesia – that spirit of tolerance that is written into your Constitution; symbolized in your mosques and churches and temples; and embodied in your people – still lives on. Bhinneka Tunggal Ika – unity in diversity. This is the foundation of Indonesia’s example to the world, and this is why Indonesia will play such an important role in the 21st century.

So today, I return to Indonesia as a friend, but also as a President who seeks a deep and enduring partnership between our two countries. Because as vast and diverse countries; as neighbors on either side of the Pacific; and above all as democracies – the United States and Indonesia are bound together by shared interests and shared values.

Yesterday, President Yudhoyono and I announced a new, Comprehensive Partnership between the United States and Indonesia. We are increasing ties between our governments in many different areas, and – just as importantly – we are increasing ties among our people. This is a partnership of equals, grounded in mutual interests and mutual respect.

With the rest of my time today, I’d like to talk about why the story I just told – the story of Indonesia since the days when I lived here – is so important to the United States, and to the world. I will focus on three areas that are closely related, and fundamental to human progress – development, democracy, and religion.

First, the friendship between the United States and Indonesia can advance our mutual interest in development.

When I moved to Indonesia, it would have been hard to imagine a future in which the prosperity of families in Chicago and Jakarta would be connected. But our economies are now global, and Indonesians have experienced both the promise and perils of globalization: from the shock of the Asian financial crisis in the 1990s to the millions lifted out of poverty. What that means – and what we learned in the recent economic crisis – is that we have a stake in each other’s success.

America has a stake in an Indonesia that is growing, with prosperity that is broadly shared among the Indonesian people – because a rising middle class here means new markets for our goods, just as America is a market for yours. And so we are investing more in Indonesia, our exports have grown by nearly 50 percent, and we are opening doors for Americans and Indonesians to do business with one another.

America has a stake in an Indonesia that plays its rightful role in shaping the global economy. Gone are the days when seven or eight countries could come together to determine the direction of global markets. That is why the G-20 is now the center of international economic cooperation, so that emerging economies like Indonesia have a greater voice and bear greater responsibility. And through its leadership of the G-20’s anti-corruption group, Indonesia should lead on the world stage and by example in embracing transparency and accountability.

America has a stake in an Indonesia that pursues sustainable development, because the way we grow will determine the quality of our lives and the health of our planet. That is why we are developing clean energy technologies that can power industry and preserve Indonesia’s precious natural resources – and America welcomes your country’s strong leadership in the global effort to combat climate change.

Above all, America has a stake in the success of the Indonesian people. Underneath the headlines of the day, we must build bridges between our peoples, because our future security and prosperity is shared. That is exactly what we are doing – by increased collaboration among our scientists and researchers, and by working together to foster entrepreneurship. And I am especially pleased that we have committed to double the number of American and Indonesian students studying in our respective countries – we want more Indonesian students in our schools, and more American students to come study in this country, so that we can forge new ties that last well into this young century.

These are the issues that really matter in our daily lives. Development, after all, is not simply about growth rates and numbers on a balance sheet. It’s about whether a child can learn the skills they need to make it in a changing world. It’s about whether a good idea is allowed to grow into a business, and not be suffocated by corruption. It’s about whether those forces that have transformed the Jakarta that I once knew –technology and trade and the flow of people and goods – translate into a better life for human beings, a life marked by dignity and opportunity.

This kind of development is inseparable from the role of democracy.

Today, we sometimes hear that democracy stands in the way of economic progress. This is not a new argument. Particularly in times of change and economic uncertainty, some will say that it is easier to take a shortcut to development by trading away the rights of human beings for the power of the state. But that is not what I saw on my trip to India, and that is not what I see in Indonesia. Your achievements demonstrate that democracy and development reinforce one another.

Like any democracy, you have known setbacks along the way. America is no different. Our own Constitution spoke of the effort to forge a “more perfect union,” and that is a journey we have travelled ever since, enduring Civil War and struggles to extend rights to all of our citizens. But it is precisely this effort that has allowed us to become stronger and more prosperous, while also becoming a more just and free society.

Like other countries that emerged from colonial rule in the last century, Indonesia struggled and sacrificed for the right to determine your destiny. That is what Heroes Day is all about – an Indonesia that belongs to Indonesians. But you also ultimately decided that freedom cannot mean replacing the strong hand of a colonizer with a strongman of your own.

Of course, democracy is messy. Not everyone likes the results of every election. You go through ups and downs. But the journey is worthwhile, and it goes beyond casting a ballot. It takes strong institutions to check the concentration of power. It takes open markets that allow individuals to thrive. It takes a free press and an independent justice system to root out abuse and excess, and to insist upon accountability. It takes open society and active citizens to reject inequality and injustice.

These are the forces that will propel Indonesia forward. And it will require a refusal to tolerate the corruption that stands in the way of opportunity; a commitment to transparency that gives every Indonesian a stake in their government; and a belief that the freedom that Indonesians have fought for is what holds this great nation together.

That is the message of the Indonesians who have advanced this democratic story – from those who fought in the Battle of Surabaya 55 years ago today; to the students who marched peacefully for democracy in the 1990s, to leaders who have embraced the peaceful transition of power in this young century. Because ultimately, it will be the rights of citizens that will stitch together this remarkable Nusantara that stretches from Sabang to Merauke – an insistence that every child born in this country should be treated equally, whether they come from Java or Aceh; Bali or Papua.

That effort extends to the example that Indonesia sets abroad. Indonesia took the initiative to establish the Bali Democracy Forum, an open forum for countries to share their experiences and best practices in fostering democracy. Indonesia has also been at the forefront of pushing for more attention to human rights within ASEAN. The nations of Southeast Asia must have the right to determine their own destiny, and the United States will strongly support that right. But the people of Southeast Asia must have the right to determine their own destiny as well. That is why we condemned elections in Burma that were neither free nor fair. That is why we are supporting your vibrant civil society in working with counterparts across this region. Because there is no reason why respect for human rights should stop at the border of any country.

Hand in hand, that is what development and democracy are about – the notion that certain values are universal. Prosperity without freedom is just another form of poverty. Because there are aspirations that human beings share – the liberty of knowing that your leader is accountable to you, and that you won’t be locked up for disagreeing with them; the opportunity to get an education and to work with dignity; the freedom to practice your faith without fear or restriction.

Religion is the final topic that I want to address today, and – like democracy and development – it is fundamental to the Indonesian story.

Like the other Asian nations that I am visiting on this trip, Indonesia is steeped in spirituality – a place where people worship God in many different ways. Along with this rich diversity, it is also home to the world’s largest Muslim population – a truth that I came to know as a boy when I heard the call to prayer across Jakarta.

Just as individuals are not defined solely by their faith, Indonesia is defined by more than its Muslim population. But we also know that relations between the United States and Muslim communities have frayed over many years. As President, I have made it a priority to begin to repair these relations. As a part of that effort, I went to Cairo last June, and called for a new beginning between the United States and Muslims around the world – one that creates a path for us to move beyond our differences.

I said then, and I will repeat now, that no single speech can eradicate years of mistrust. But I believed then, and I believe today, that we have a choice. We can choose to be defined by our differences, and give in to a future of suspicion and mistrust. Or we can choose to do the hard work of forging common ground, and commit ourselves to the steady pursuit of progress. And I can promise you – no matter what setbacks may come, the United States is committed to human progress. That is who we are. That is what we have done. That is what we will do.

We know well the issues that have caused tensions for many years – issues that I addressed in Cairo. In the 17 months that have passed we have made some progress, but much more work remains to be done.

Innocent civilians in America, Indonesia, and across the world are still targeted by violent extremists. I have made it clear that America is not, and never will be, at war with Islam. Instead, all of us must defeat al Qaeda and its affiliates, who have no claim to be leaders of any religion – certainly not a great, world religion like Islam. But those who want to build must not cede ground to terrorists who seek to destroy. This is not a task for America alone. Indeed, here in Indonesia, you have made progress in rooting out terrorists and combating violent extremism.

In Afghanistan, we continue to work with a coalition of nations to build the capacity of the Afghan government to secure its future. Our shared interest is in building peace in a war-torn land – a peace that provides no safe-haven for violent extremists, and that provides hope for the Afghan people.

Meanwhile, we have made progress on one of our core commitments - our effort to end the war in Iraq. 100,000 American troops have left Iraq. Iraqis have taken full responsibility for their security. And we will continue to support Iraq as it forms an inclusive government and we bring all of our troops home.

In the Middle East, we have faced false starts and setbacks, but we have been persistent in our pursuit of peace. Israelis and Palestinians restarted direct talks, but enormous obstacles remain. There should be no illusions that peace and security will come easy. But let there be no doubt: we will spare no effort in working for the outcome that is just, and that is in the interest of all the parties involved: two states, Israel and Palestine, living side by side in peace and security.

The stakes are high in resolving these issues, and the others I have spoken about today. For our world has grown smaller and while those forces that connect us have unleashed opportunity, they also empower those who seek to derail progress. One bomb in a marketplace can obliterate the bustle of daily commerce. One whispered rumor can obscure the truth, and set off violence between communities that once lived in peace. In an age of rapid change and colliding cultures, what we share as human beings can be lost.

But I believe that the history of both America and Indonesia gives us hope. It’s a story written into our national mottos. E pluribus unum – out of many, one. Bhinneka Tunggal Ika – unity in diversity. We are two nations, which have travelled different paths. Yet our nations show that hundreds of millions who hold different beliefs can be united in freedom under one flag. And we are now building on that shared humanity – through the young people who will study in each other’s schools; through the entrepreneurs forging ties that can lead to prosperity; and through our embrace of fundamental democratic values and human aspirations..

Earlier today, I visited the Istiqlal mosque – a place of worship that was still under construction when I lived in Jakarta. I admired its soaring minaret, imposing dome, and welcoming space. But its name and history also speak to what makes Indonesia great. Istiqlal means independence, and its construction was in part a testament to the nation’s struggle for freedom. Moreover, this house of worship for many thousands of Muslims was designed by a Christian architect.

Such is Indonesia’s spirit. Such is the message of Indonesia’s inclusive philosophy, Pancasila. Across an archipelago that contains some of God’s most beautiful creations, islands rising above an ocean named for peace, people choose to worship God as they please. Islam flourishes, but so do other faiths. Development is strengthened by an emerging democracy. Ancient traditions endure, even as a rising power is on the move.

That is not to say that Indonesia is without imperfections. No country is. But here can be found the ability to bridge divides of race and region and religion – that ability to see yourself in all individuals. As a child of a different race coming from a distant country, I found this spirit in the greeting that I received upon moving here: Selamat Datang. As a Christian visiting a mosque on this visit, I found it in the words of a leader who was asked about my visit and said, “Muslims are also allowed in churches. We are all God’s followers.”

That spark of the divine lies within each of us. We cannot give in to doubt or cynicism or despair. The stories of Indonesia and America tell us that history is on the side of human progress; that unity is more powerful than division; and that the people of this world can live together in peace. May our two nations work together, with faith and determination, to share these truths with all mankind.

Sumber: rolingstone.co.id

November 10, 2010

Mimpi Obama Bukan Mimpi Kita

12893502091460041328

Presiden SBY dan Obama di Istana Negara (ilustrasi/tibunnews)

Akhirnya, Presiden Amerika Serikat Barack Obama beserta rombongan mendarat di Bandara Halim Perdana Kusuma, (9/11) sebagai bagian dari lawatan kenegaran selama sepuluh hari ke kawasan Asia Pasifik dan berada di tanah air cukup singkat 9-10 November 2010 ini. Kehadiran Obama kali ini harus dihadapkan pada kenyataan bahwa Indonesia tengah dalam situasi berduka karena disana-sini bencana terus datang silih berganti. Belum pulih bencana banjir Wasior, datang gempa dan tsunami di Mentawai, menyusul letusan Merapi yang hingga kini masih terus dipantau perkembangannya.

Sebelum Obama menginjakkan kaki untuk kunjungan kenegaraan di Indonesia, ada beberapa sambutan dalam bentuk pendapat oleh para pakar di bidangnya yang terlontar di sejumlah media massa tanah air. Salah satu yang menarik perhatian penulis adalah tulisan Profesor William Liddle, dari Ohio State University (Kompas, 3/10), dalam opininya Liddle menyebutkan beberapa hal yang patut menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat Indonesia tentang hubungan Indonesia dengan Obama yang merepresentasikan rakyat AS. Di satu sisi Liddle melihat bahwa sedikit sekali pengaruh Obama pernah tinggal dan mengenyam sekolah dasar di Indonesia terhadap kebijakan luar negerinya. Buktinya, Indonesia yang nota bene merupakan negara Muslim terbesar di dunia sekaligus menjadi negara demokrasi terbesar ketiga setelah AS dan India tidak lantas membuat Indonesia Istimewa di mata Presiden AS ke-44 itu karena pada saat yang sama Obama lebih memilih mendahului mengajak dialog kemitraan dunia Islam melalui mimbar Universitas Al-Alzhar, Kairo padahal rezim pemerintahan Mesir bukanlah sosok yang dipilih secara demokratis dan kurang disukai AS, tetapi tetap saja Jakarta dinomorduakan.

Jika Jakarta istimewa, seharusnya kunjungan pertama Obama setelah dilantik menjadi presiden AS ke kawasan Asia Pasifik, adalah mendarat di Bandara Halim Perdana Kusuma, tetapi nyatanya Obama lebih memilih untuk mendarat pertama kali di China, sebab negeri yang kian mempesona lantaran ekonominya tumbuh pesat itu banyak menyimpan dollar AS yang dibutuhkan Obama untuk memulihkan situasi ekonomi negerinya yang remuk akibat pukulan krisis ekonomi global 2008. Sementara ekonomi Inonesia? Jelas kalah jauh dari China.

Pada hari yang sama, Kwik Kian Gie (Kompas, 3/10) dalam opininya, berimajinasi menjadi presiden dan berharap mengeluarkan sejumlah regulasi yang dikontrol oleh pemerintahan yang kuat. Bersikap layaknya presiden yang anti liberalisasi berlebihan dan menguatkan BUMN strategis untuk kepentingan publik, sekaligus meneguhkan posisi Kwik yang memang beraliran ekonomi Merkantilis. Asing boleh berinvestasi tetapi negara tetap berperan. Untungnya penulis tidak melewatkan tulisan lain dari Sri Edi Swasono pada hari berikutnya (Kompas, 4/10) yang secara substansi memiliki kesamaan pandangan dengan Kwik. Yang menarik dari dua ekonom ini adalah adanya kritikan terhadap sikap pemerintah yang masih saja memunculkan watak ambivalensinya. Di satu sisi membela kepentingan rakyat: pro growth, pro poor, dan pro job, tetapi pada saat bersamaan privatisasi BUMN strategis terus digencarkan.

Boleh jadi kedatangan Obama ke Indonesia kali ini tidak dengan senyum sepenuhnya mengingat Obama kini tidak lagi seperti masa awal kepemimpinannya. Obama di masa bulan madu sebagai pejabat dielu-elukan oleh publik AS akan mampu menyulap ekonomi AS dalam sekejap. Menyelesaikan ekses negatif krisis ekonomi global yang episentrumnya berawal di AS sendiri berupa gelombang PHK yang tidak terbendung, perusahaan besar kolaps, pemerintah AS terpaksa mensubsidi perusahaan strategis dengan mekanisme dana talangan (bail out), psimisme yang muncul ketika itu adalah pemerintah AS yang menjadi kampiun kapitalisme menelan ludah sendiri karena mengintervensi pasar.

Obama tidak bisa menghindari warisan kebijakan partai Republik yang hingga kini menciderai jalan kebijakan Obama. Terlalu sulit bagi Obama untuk memulangkan prajuritnya di Timur Tengah sementara proyek demokrasi belum usai. Obama belum terbiasa menghadapi kenyataan sulit krisis ekonomi seperti sekarang. Sementara publik AS tidak sabar menanti perubahan yang dijanjikan Obama saat kampanye. Ekses dari ketidaksabaran publik AS itu berdampak signifikan terhadap partai yang mengantarkan Obama ke puncak, Partai Demokrat beberapa kali mengalami kekalahan pada pemilu sela legislatif, menurut sejumlah analis ini membuktikan bahwa Obama dan partainya tengah divonis oleh publik AS, selain itu secara otomatis kemenangan partai Republik akan menguatkan posisi mereka di Parlemen dan Senat sehingga kebijakan Obama nantinya akan terganjal politisasi di tingkat elit (NYT, 4/10).

Beda Mimpi

Antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Obama memiliki banyak kesamaan–keduanya berasal dari partai demokrat di Indonesia dan partai demokrat di AS anggap saja sebagai sebuah kebetulan semata. SBY memiliki mimpi untuk terus mengejar ketertinggalan dari negara-negara tetangga dan meraih reputasi sebagai negara berpengaruh di bidang ekonomi baik di tingkat Asia maupun dunia dengan target 2015 sebisa mungkin terpenuhi, sementara Obama hendak menjaga tradisi sebagai pemeran utama geo-ekonomi yang kini mulai diganggu oleh kelompok BRIC (Brasil, Rusia, India dan China). Sby dan Obama memiliki mimpi untuk menjadi jembatan yang menghubungkan Timur dan Barat melalui forum-forum dialog.

Selain pada bidang ekonomi, tradisi kunjungan negara-negara besar ke negara kepulauan seperti Indonesia tidak serta merta melewatkan pembicaraan isu-isu strategis di bidang keamanan. AS misalnya berkali-kali menempatkan Indonesia sebagai salah satu mitra penting di kawasan Asia Pasifik untuk meredam laju terorisme internasional. Sehingga, pertemuan SBY-Obama kali ini tidak jauh-jauh dari pembicaraan itu dan tentu pembicaraan lainnya. Muaranya selalu pada mimpi (kepentingan) nasional masing-masing.

Arti kunjungan Obama yang memang terlambat ini adalah, penting bagi Indonesia untuk berkaca diri seperti disarankan profesor Liddle, yang menyebut Indonesia memiliki potensi untuk menarik perhatian negara manapun-termasuk negara kelahiran Liddle–tetapi perlu kesabaran bagi Indonesia untuk mengelola potensi yang dimiliki, baik potensi yang berbentuk materi maupun non materi. Materi yang dimaksudkan tentu saja kekayaan alam yang melimpah ruah itu. Sementara potensi non-materi itu adalah SDM yang tiap tahun lahir dari rahim universitas-universitas terkemuka di tanah air, yang sayangnya tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh pemerintah, alih-alih memberikan mereka pekerjaan untuk mengelola BUMN, tenaga berkualitas itu justru dimanfaankan korporasi asing dengan bayaran melimpah, dan pada saat bersamaan pemerintah gemar melakukan privatisasi dan asingisasi BUMN strategis yang sebetulnya menjadi kunci keberhasilan kampiun baru bidang ekonomi, kelompok BRIC.

Jhon Naisbit dalam Megatrends terbarunya memprediksikan mimpi-mimpi China secara bertahap, menurutnya setelah China berhasil menggelar Olimpiade, target negeri tirai bambu itu berikutnya adalah membawa pulang penghargaan Nobel ekonomi sebagai apresiasi kesuksesan dalam membangun. Bagaimana dengan mimpi Kita diwakili Presiden SBY?

Saya publish pertama kali di Kompasiana, 10 Nov 2010, pkl 08.06 WIB.

November 2, 2010

Tips Membersihkan Virus McD di Facebook

Senin, 1 November 2010 | 15:36 WIB
Klik Account Privacy Settings

JAKARTA, KOMPAS.com - Sudah terlanjur mengeklik video McDonalds di Facebook yang ternyata virus iseng? Jangan khawatir. Akun Anda dipastikan aman karena virus tersebut tidak mencuri password.

Tapi, bukan berarti akun Facebook Anda aman dari ulah iseng pembuat virus. Pasalnya, begitu aplikasi jahat tersebut masuk akun Anda, ia bisa melakukan apa saja yang bisa membuat repot. Bukankah saat akan menonton video heboh soal McDonalds, Anda sudah rela memberikan akses kepada aplikasi tersebut untuk memprosting apa saja di wall Anda dan mengirim apapun ke semua teman Anda? Begitu Anda mengeklik allow saat itu, virus bekerja dan secara tidak sengaja Anda telah menyampah di inbox semua teman dengan undangan berisi link yang sama karena ulah virus iseng tersebut.

Nah, sebelum pelaku pembuat virus tersebut berulah lagi, bisa apa saja yang dilakukannya dari mengirim iklan spam sampai mungkin sumpah serapah dan link gambar porno, buruan bersihkan virus tersebut dari akun Facebook Anda. Bagaimana caranya? Ikuti kiat dari Vaksincom, penyedia solusi keamanan, di bawah ini (lihat gambar sebagai panduan).

1. Klik [Account] [Privacy Settings] Anda akan membuka menu "Choose Your Privacy Settings"

2. Klik [Edit your settings] dari menu "Applications and Websites" di pojok kiri bawah untuk membuka menu "Choose Your Privacy Settings > Applications, Games and Websites

3. Klik [Remove unwanted or spammy applications] untuk membuka layar "Applications, Games and Websites > Applications You Use dak klik tanda "X" di sebelah "Edit Settings"

4. Anda akan mendapatkan layar konfirmasi Remove, klik tombol [Remove] untuk menghapus program HD Video Player

Catatan: tips ini saya kutip dari kompas.com