December 20, 2008

Sepatu Butut For Bush

Jika saat ini anda sedang online, coba buka google, ketik pelempar sepatu, maka akan muncul seklitar 6.600 artikel (jumlah itu saat saya akses tanggal 20 Des 09). Namanya juga google, semua yang berkaitan dengan sepatu entah itu cara membuat sepatu, harga sepatu, produsen sepatu, dll, pokoknya sepatu deh, pasti nyangkut di mesin pencari canggih ini. Tapi kali ini sepatu dan lempar dikaitkan dengan lemparan seorang wartawan di Irak, dan menjadi headline di beberapa media massa seluruh dunia. rating beritanya tinggi banget deh.

Hari-hari ini berita yang paling heboh dalam wacana masyarakat dunia adalah, seorang wartawan muda bernama Muntazer al-Zaidi, melemparkan sepatut butut yang beli di pasar lowak Irak ke arah seorang pemimpin Amerika Serikat, G.W Bush.
Seperti diberitakan bbc.com, saat melempar sepatu itu al-Zaidi mengucapkan kata perpisahan diselipi kata-kata yang kurang lebih membuat telinga seseorang panas dan sepatu butut bertali coklat itu dibeli di pasar lowak dikhususkan untuk melempar Bush.

Lemparan itu bagi sebagian besar masyarakat Arab, terutama warga Irak, sebentuk perlawanan seorang pahlawan muda dari tanah Irak. Sekaligus perpisahan dengan seorang presiden aneh doyan berperang milik AS yang di negerinya sendiri dicaci-maki karena kebijakannya yang tidak waras dan memicu ambruknya perekonomian AS.
Akibat pelemparan itu, Zaidy banyak meraih simpati: dari Mesir seorang bapak menawarkan anaknya untuk dinikahi dengan tanpa biaya apapu, pokonya teriwa beres deh (kompas 19/12); sepatu butut ditawar $ 100.000 sampai $ 10 juta; lembaga sosial milik anak pemimpin Libya Muammar Kadafi akan memberi penghargaan karena itu dianggap sebagai sebuah keberanian seorang pahlawan (bbc), dan berkah simpati lainnya.

Pelajaran buat Bush di akhir masa kepemimpinannya dan semua orang yang ingin meniru Bush, bahwa orang-orang baik di dunia ini akan selalu mendapat tempat di hati setiap orang. One world, one peace. Peace always!!

November 18, 2008

Fenomena Obama

Tepat tanggal 4 November 2008 kemarin, dunia menyaksikan salah seorang warga Amerika Serikat keturunan Afro-Amerika, melangkah dengan pasti di atas panggung kemenangan setelah meruntuhkan dominasi partai Republik yang mengusung senator John McCain. Dengan wajah cerah ceria dibalut kemenangan Barack Hussein Obama berpidato di hadapan ribuan pendukungnya, pendukung Partai Demokrat tepatnya. Dalam pidato singkat itu ia kembali menegaskan komitmennya untuk membangun Amerika secara bersama-sama dengan semua pihak. Membuktikan slogan “perubahan” memang bisa dilakukan.

Kemenangan Obama di pentas demokrasi Amerika bukanlah kemenangan yang mudah untuk didapat, sebab Amerika bukanlah negeri dongeng ataupun negeri mimpi, melainkan negeri realitas yang telah lama menggandeng demokrasi sebagai medium dalam membangun negara serta didukung oleh para pemilih yang bisa dibilang tingkat rasionalitasnya sangat tinggi. Konstituen seperti itu sangat teliti dalam menentukan pilihan.

Jika melihat kecenderungan politik pada pemilu Amerika kemarin, kita bisa melihat kemenangan tersebut sangat ditentukan oleh beberapa faktor berikut di antaranya: Pertama, secara individu, Obama memang memiliki karakter cukup kuat sehingga iklan politik yang dijual ke publik oleh tim kampanyenya membuat publik yakin akan kapasitas dan kapabilitas sang kandidat. Sejak awal Obama memang dikenal sebagai politisi muda yang sangat dekat dengan konstituennya sehingga banyak tahu tentang kondisi masyarakat yang diwakilinya. Bahkan dalam menjalankan tugas sebagai senator, politisi yang mantan aktifis itu sangat sulit ditemukan di kantornya, karena lebih banyak terjun ke lapangan (daerah) untuk menjaring aspirasi orang-orang yang diwakilinya.

Kedua, Amerika yang saat ini sedang diterpa krisis karena kredit rumah macet, membutuhkan sosok alternative. Dibandingkan dengan proposal McCain, Obama bagi rakyat Amerika lebih menjanjikan, sebab, memilih McCain sama saja dengan meneruskan dinasti kepemimpinan George W. Bush. Disamping itu, rakyat Amerika juga merindukan kesuksesan dalam berbagai bidang (terutama bidang ekonomi) yang pernah diraih pada era kepemimpinan Bill Clinton yang juga politisi partai Demokrat—seperti diutarakan beberapa analis bahwa sukses Clinton dalam mendongkrak Ekonomi Amerika tiada lain merupakan desain dari tim ekonomi partai Demokrat--.

Ketiga, kekalahan kubu Republik pada pemilu kali ini tidak terlepas dari pengaruh Bush yang bisa dibilang gagal dalam menjalankan dua periode roda pemerintahan. Partai Republik mendapat “karma” dari dosa politik Bush yang telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk menebarkan hegemoni dan dominasi. Menginvasi Afghanistan dan Irak adalah kesalah besar, sebab selain menderita kerugian secara finansial, juga menderita dari segi citra, Amerika sebagai bangsa dicaci-maki oleh banyak orang di berbagai belahan dunia karena pilihan politik seperti itu. Oleh karena itu para pemilih seperti ingin mengakhiri caci-maki dunia selepas pemerintahan Bush kemudian menaruh harapan besar kepada Obama.

Keempat, peran teknologi informasi (IT) di dunia modern seperti saat ini adalah sesuatu yang tidak bisa dinafikan. Sebab dengan mengadopsi teknologi (seperti media internet), tim kampanye Obama mampu menjangkau jutaan warga Amerika sekaligus mengajak mereka untuk menggunakan hak pilihnya sebagai warga negara. Lebih-lebih para pemuda yang tidak begitu peduli dengan urusan politik.

Kemenangan Obama yang telah lama dinanti, tidak hanya oleh rakyat Amerika tetapi juga oleh penduduk dunia itu merupakan sebuah fenomena menarik dalam melihat realitas politik di Amerika. Amerika yang terkenal dengan pluralitasnya mampu meyakinkan dunia bahwa dalam demokrasi Amerika hak semua orang sama asalkan mereka memiliki kemampuan. Ini juga meneguhkan posisi Amerika sebagai kampiun demokrasi yang sebenarnya. Jejak Obama bukan tidak mungkin untuk bisa diikuti oleh politisi tanah air, jika telah memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk membangun negara maka “keberanian untuk berharap” menjadi taruhan.

September 6, 2008

OSWALDO DE RIVERO: Potret Kegelisahan Negara-negara Miskin

OSWALDO: Potret Kegelisahan Negara-negara Miskin
Oleh: M. Sya’roni Rofii

Kisah dan renungan Oswaldo dapat dilihat dalam:
Judul : Mitos Perkembangan Negara
Penulis : Oswaldo de Rivero
Penerjemah : M. Sya’roni Rofii
Penerbit : Pustaka Pelajar
Cetakan : I, Agustus 2008
Halaman :-

Suatu saat di sebuah negeri makmur bernama Peru, Amerika Latin, terlihat kekayaan alam yang melimpah ruah loh jinawi: negeri itu dikaruniai Tuhan berbagai macam sumber daya alam yang, kalau bisa dikelola dapat memberikan jaminan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Peru dari generasi ke generasi. Namun, kisah itu bukan berakhir bahagia, namun sebaliknya mereka kini tak ubahnya negeri terkutuk nan menyedihkan oleh kekayaannya sendiri: kemiskinan merajalela, pengangguran semakin bertambah, jumlah penduduk yang tak terkontrol, kerusakan lingkungan disana-sini.

Mereka punya kekayaan alam yang melimpah ruah, namun kini semua itu adalah milik segelintir orang yang berprofesi sebagai para pemodal asing. Dalam skala makro derita itu akibat ketidakadilan pada ranah internasional yang dilegitimasi IMF, WTO dan Bank Dunia. Peru dipaksa berkompetisi dengan negara-negara maju, seperti seorang anak SD dipaksa bersaing dalam urusan perdagangan dengan para sarjana ekonomi. Siswa SD itu adalah negara-negara miskin seperti Peru, sedangkan negara-negara maju adalah para sarjana. Jelas anak SD kalah, dan kekalahannya itu disusul dengan intimidasi secara perlahan namun mematikan. Ketidakadilan pada tingkat legislasi internasional itu disaksikan sendiri oleh Oswaldo karena ia merupakan dubes/perwakilan Peru di PBB.

Mendengar keluh kesah Oswaldo ternyata tidak ada bedanya dengan yang kita hadapi hari ini, derita tiada akhir Indonesia persis sama dengan yang dialami Peru. Kita sejak usia anak-anak diceritakan tentang kekayaan alam Nusantara dari sabang sampai Merauke. Namun, kekayaan itu tidak bisa kita nikmati, buktinya: kita punya ladang minyak di beberapa tempat tapi saat BBM naik kita malah ribut, sebab ladang minyak sudah menjadi milik orang lain; saat panen padi seharusnya para petani sangat bergembira dan makmur tapi itu tidak terjadi karena scenario internasional dan kelemahan pemerintah dalam hal proteksi, pemerintah malah mengimpor dari Thailand; biaya pendidikan tiap tahun dinaikkan; sudah dapat pendidikan, pekerjaan alangkah susah untuk didapat. Seburuk itukah kondisi kita? Lebih menyedihkan dari kisah Peru kah? Lantas menjadi kewajiban siapa untuk mengeluarkan ibu pertiwi dari jerat kesengsaaraan? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing, untuk tidak memilih calon pemimpin pada pemilu 2009 yang tidak bersedia mengerti keinginan rakyat.
MENGABDI DI NEGERI ILUSI: INDONESIA
(Renungan Kisah “Pengabdian Tanpa Batas,” Metro TV)
Oleh: M. Sya’roni Rofii

Menyaksikan tayangan metro tv edisi kemarin, 05/09/09 mengenai pengabdian beberapa orang kepada komunitasnya masing-masing, membuat kita sedih, terharu, marah dan tak bisa berbuat banyak. Di tengah keramaian orang-orang aneh yang sedang sibuk dengan ritual lima tahunan yang kita kenal dengan istilah pemilu, terbersit sedikit cerita dari akar rumput tentang pengabdian seseorang pada cita-cita, mereka adalah orang-orang langka di negeri ini. Seperti apa mereka?

Pertama, “Ada pasien yang tidak sanggup membayar saya dengan uang, tapi sebagai gantinya pihak pasien memberikan sebentuk materi untuk melengkapi kebutuhan sekolah darurat, dan bagi saya kesehatan mereka lebih penting daripada gaji saya, bahkan dengan uang yang saya terima dari pasien saya gunakan untuk membayar para petugas,” (kira-kira seperti itu ungkapan ibu bidan). Ibu Bidan (sebut saja seperti itu, sebab saya lupa namanya), menggambarkan potret perjuangan seorang wanita melawan derasnya arus di ibu kota. Bertahan menahan kerasnya benturan antara pengabdian dan penghasilan yang tidak mudah untuk menegosiasikan keduanya di tengah iklim perkotaan (Jakarta) yang kelihataannya tidak lagi manusiawi. Ia menyaksikan kemiskinan sangat dekat, ia dikelilingi senyum tawa anak-anak miskin di tempat kumuh.

Sebagai seorang abdi kesehatan ia mengesampingkan kepentingan pribadi untuk orang lain, seperti ketika ia menceritakan bahwa suatu hari di rumah sakit, ia datang bersama seorang pasien dari daerah kumuh tempat dimana Ibu Bidan mengabdi, kedatangannya ke rumah sakit tentunya untuk mendapatkan jasa kesehatan, namun apa hendak dikata, di rumah sakit ia harus berhadapan dengan skema administrasi birokrasi yang tidak memberikan tempat bagi orang miskin, mereka akan mendapatkan jasa kesehatan jika memiliki jaminan untuk membayar, akhirnya ibu bidan sendiri yang mengeluarkan uangnya untuk menjamin si miskin mendapatkan hak untuk diobati, seakan orang miskin dilarang sakit di negeri ini.

Tidak berhenti sampai di situ, selain sebagai abdi kesehatan ia juga menjadi penerobos di tengah kebuntuan dan ketidakpedulian pemerintah setempat, ia membentuk sekolah untuk anak-anak--meski pada awalnya sekolah itu merupakan kandang kambing dan tidak diperbolehkan oleh si pemilik untuk dijadikan sekolah--, mencoba memberikan pencerahan dari sisi pendidikan untuk masa depan anak-anak tadi.

Kedua, tidak kalah mengharukan dengan kisah ibu bidan, kisah lainnya adalah saat seorang guru mengambil inisiatif untuk memberikan kontribusi pendidikan bagi lingkungan sekitaranya. Guru itu bernama Haji Soleh, berasal dari sebuah tempat kumuh di Surabaya, sialnya tempat kumuh itu merupakan tempat jajanan para lelaki hidung belang: tempat mesum prostitusi.

Untuk sebuah cita-cita Haji Soleh mewakafkan dirinya untuk pendidikan, sebagai konsekuensinya ia harus merangkap menjadi guru agama, kepala sekolah, tukang bersih-bersih dan sekaligus menjadi makelar (kepala sekolah menjadi makelar tentunya sangat aneh tapi baginya makelar lebih mulia karena masih halal, mirip dengan kisah episode lain Kick Andy yang mengangkap potret kepala sekolah menjadi pemulung). Ia rela tidak digaji yang terpenting adalah bagaimana supaya anak-anak di lingkaran kemesuman itu memperoleh pendidikan dan pencerahaan agama dan akhlak. Kelihatannya H. Soleh juga tidak pernah masuk dalam data pemerintah dan tidak akan pernah mendapatkan subsidi pendidikan yang sampai sekarang diperjuangkan agar berjumlah 20 %. Sederhananya kepala sekolah yang makelar ini ingin melihat masa depan anak-anak yang ada dilingkungan kumuh itu kelak menjadi anak yang berguna. “Saya mewajibkan peserta didik saya untuk tidak membayar biaya pendidikan, yang penting mereka mau sekolah dan menjadi anak yang sukses, masalah biaya biar saya sendiri yang mengusahakan bagaimanapun caranya yang penting halal”.

Kisah inspiratif episode ini kemudian diakhiri dengan potret seseorang berkebangsaan Jerman yang mengabdikan dirinya sejak tahun 1960-an untuk merawat para penderita kusta di NTT yang juga tidak kalah menyedihkan.

Kira-kira seperti itulah ulasan singkatnya. Semoga anda yang kebetulah lebih dahulu menjadi “Jutawan” bisa berbuat lebih dari itu. Untuk mencari tahu lebih banyak tentang episode ini kunjungi saja situs Metro TV (kalo ga salah
www.metrotv.com, saya bukan agen marketing metrotv lho…hi..hi). Kisah di atas penting untuk dijadikan bahan renungan bersama untuk membangun Indonesia lebih baik.

March 7, 2008

Geliat Dunia Buku dan Perfilman Tanah Air

M. Sya'roni R -Yogya

Suatu siang di sebuah rumah makan kompleks mahasiswa di Yogyakarta saya tanpa sengaja melihat seorang ibu muda (35 tahun) yang juga penjual nasi sedang asyik membaca buku tebal ukuran kira-kira 17cm+14cm dengan ketebalan sekitar empat ratus halaman lebih, dengan lepas saya menanyakan kepada mbak Tini, penjual nasi itu, "sedang baca Ayat-ayat Cinta ya?" mendengar pertanyaan itu dia hanya tersipu malu disertai senyum mengiyakan, sebab membaca novel (terutama novel cinta) adalah hobi kebanyakan anak muda yang sedang mengisi kekosongan jiwanya dengan romansa cinta, berbeda dengan anak muda kebanyakan, tampaknya mbak Tini kali ini sedang terkena virus membaca yang, dalam tiga tahun terakhir ini sedang menjangkiti masyarakat dari berbagai kalangan, memeriahkan kejenuhan masyarakat Indonesia (salah satu contoh kasusnya di Yogya), menghibur bangsa Indonesia yang sedang lelah direngkuh arus kemiskinan (indikasinya, harga sembako terus saja melonjak).

Dua novel fenomenal karya anak negeri, menurut hemat penulis adalah pemicu kemeriahan itu, Ayat-Ayat Cinta (AAC), karya Habiburrahman ElSy disusul tetralogi Laskar Pelangi (LP), Andrea Hirata. Wajar dua novel tersebut meraih predikat bestseller karena kedua penulisnya mampu menghadirkan realitas alternative ke hadapan public sehingga mampu menyaingi kehadiran novel thriller yang kebanyakan dari penulis luar negeri (rata-rata bestseller di negaranya masing-masing kemudian di alih bahasakan ke Indonesia), mereka berdua telah melewati tahap imajinasi yang berbuah karya brilian. Untuk yang pertama, AAC berhasil membawa pembaca ke belahan dunia lain, dunia mahasiswa Indonesia di Mesir, penonjolan budaya Indonesia di rantauan dan sekaligus mengarahkan pembacanya untuk memahami ajaran Islam yang peka atas realitas social, cinta damai disusul pluralitas tak terbantah dalam hidup, menceritakan ajaran agama yang humanis dengan representasi bangunan karakter tokoh Fahri, Aisha dan Maria. Dan kedua, LP juga tak ubahnya pelengkap dari AAC, kenapa saya menyatakan demikian? Sebab, menurut hemat saya LP mengajak kita untuk menguliti lokalitas, meneropong khazanah Nusantara yang begitu luas, lewat budaya dimana Andrea hidup, dapat dilihat sebagai salah satu dari ribuan kekayaan budaya Nusantara, adapun tokoh-tokoh kecil tanpa dosa korban kelalaian Negara yang juga anggota LP itu tergambar ketegaran anak manusia Indonesia menghadapi hidup, ketegaran yang hanya didukung kekuatan Cita-Cita. Aroma cinta pada kedua novel, AAC dan LP, menjadi nilai tambah karena dengan pendekatan cinta dunia terasa indah seindah untaian kata-kata yang mengalir secara alamiah bersumber dari cinta itu sendiri.

Selanjutnya di dunia perfilman (narsis banget ya, kayak pakar buku dan film aja), dari pengamatan saya sendiri, Denias, Naga Bonar Jadi 2, Get Married, Ayat-ayat Cinta (urutan berdasarkan tahun produksi), adalah empat judul film tanah air yang, menurut hemat saya pantas mengisi deretan box office, layak mendapatkan bintang lima. Keempat film juga tidak jauh berbeda dengan uraian buku di atas, namun film-film ini lebih ekspressif jika dibanding novel meski kering imajinasi.

Pertama, Denias yang pada akhir 2007 juga meraih penghargaan pada festival film Cannes, Perancis sebuah penghargaan cukup prestisius di kancah internasional, film yang mengisahkan tentang dunia anak-anak di Penjuru Timur Indonesia yang ingin sekolah namun terbentur oleh infrastruktur, memotret dunia pendidikan dan pembangunan yang tidak merata, pemerintah daerah tidak mampu mengelola APBD secara merata begitu juga dengan orang pusat yang hanya datang ke daerah pada saat-saat tertentu (kita tahu sendiri betapa bobroknya etika politik di tanah air, rata-rata menjadi mesin politik pada saat suksesi kepemimpinan baik di pusat maupun daerah, setelah duduk di pemerintahan, mereka akan berkata kira-kira seperti ini 'selamat tinggal para pemilih, kini kami melalui kursi pemerintahan ingin memperkaya tim sukses kami yang dulu membawa kami menuju tampuk kekuasaan", walaupun tidak semua politisi tanah air seperti itu). Karakter film Denias cukup kuat. Kedua, film Naga Bonar olahan tangan dingin Dedi Mizwar juga sarat dengan kritik social tanah air, penuh pesan positif, mengajak kita untuk tetap membela para pahlawan bangsa dan menjunjungtinggi nasionalisme walaupun di dunia korporasi liberal seperti saat ini.

Ketiga, Get Married, permulaan film di awali dengan narasi kritik social, mengisahkan tentang persahabatan anak kampung yang kelak menjadi pengangguran di tengah arus metropolitan, juga menguraikan tentang dampak buruk dari penyelewengan dana oleh oknum pemerintah, menceritakan kepada kita tentang kesenjangan social yang sering terjadi antara si kaya dan si miskin dengan symbolisasi warga kampung merepresentasikan kemiskinan dan warga komplek si kaya, dibumbui dengan anarkisme keindonesiaan, logika tak lagi berfungsi ketika solidaritas kekerasan terbangun, bagi masyarakat Indonesia dalam film ini anarkisme adalah solusi paling cepat untuk mennyelesaikan persoalan, namun semua itu terlampaui ketika cinta berada di garda terdepan.

Keempat, Ayat-ayat Cinta yang juga diadopsi dari novel Habiburrahman mengakhiri petualangan kita di belantara cinta (untuk sementara) sampai pada awal 2008 ini. Pun dalam film ini tidak jauh berbeda dengan kisah yang ada dalam novelnya, meski ada beberapa adegan dalam novel tidak diolah apa adanya dan hal itu wajar karena pilihan untuk menghilangkan beberapa adegan di novel sangat menyesesuaikan dengan dunia perfilman, asumsi saya, penghilangan beberapa adegan agar memudahkan produser mengekspersikan dunia novel dalam dunia semi-nyata (film), beberapa rintangan berat tampaknya berhasil dilewati oleh kru film ini, sebab mereka dengan dunia filmnya mampu mendeskripsikan ajaran agama secara sederhana dan mudah diterima banyak kalangan, salah satunya menghadirkan poligami yang kontroversial di tanah air dengan pendekatan yang cukup hati-hati, dan pada akhirnya cinta sulit dilukiskan dengan kata-kata, cinta mereduksi logika, cinta, cinta…..ya, cinta.

Demikianlah, sedikit pandangan pribadi tentang dunia perbukuan dan perfilman Indonesia. Membaca novel berkualitas dengan ketebalan di atas 300 halaman oleh masyarakat luas untuk konteks saat ini patut diapresiasi, apalagi ketika kita melihat para pecandu Harry Potter di negeri ini yang merelakan 'begadang' demi menanti launch resmi novel imajinatif karya JK Rowling, antusiasme para pembaca Indonesia dapat dijadikan sinyalemen positif bagi pemangku kebijakan, bahwa masyarakat kita telah mulai, bahkan telah lama mulai, menikmati iklim literasi, sayangnya akses terhadap literatur itu masih parsial, elitis, dikonsumsi masyarakat tertentu.

Sarannya, agar harga kertas lebih murah, penulis, penerbit dan pemerintah bergerak bersama untuk kepentingan bersama tanpa menapikan aspek ekonomis dunia buku, untuk mensupport antusiasme yang sedang bergeliat itu. Budaya literasi bagian dari fondasi peradaban. Eureka!!!