March 7, 2008

Geliat Dunia Buku dan Perfilman Tanah Air

M. Sya'roni R -Yogya

Suatu siang di sebuah rumah makan kompleks mahasiswa di Yogyakarta saya tanpa sengaja melihat seorang ibu muda (35 tahun) yang juga penjual nasi sedang asyik membaca buku tebal ukuran kira-kira 17cm+14cm dengan ketebalan sekitar empat ratus halaman lebih, dengan lepas saya menanyakan kepada mbak Tini, penjual nasi itu, "sedang baca Ayat-ayat Cinta ya?" mendengar pertanyaan itu dia hanya tersipu malu disertai senyum mengiyakan, sebab membaca novel (terutama novel cinta) adalah hobi kebanyakan anak muda yang sedang mengisi kekosongan jiwanya dengan romansa cinta, berbeda dengan anak muda kebanyakan, tampaknya mbak Tini kali ini sedang terkena virus membaca yang, dalam tiga tahun terakhir ini sedang menjangkiti masyarakat dari berbagai kalangan, memeriahkan kejenuhan masyarakat Indonesia (salah satu contoh kasusnya di Yogya), menghibur bangsa Indonesia yang sedang lelah direngkuh arus kemiskinan (indikasinya, harga sembako terus saja melonjak).

Dua novel fenomenal karya anak negeri, menurut hemat penulis adalah pemicu kemeriahan itu, Ayat-Ayat Cinta (AAC), karya Habiburrahman ElSy disusul tetralogi Laskar Pelangi (LP), Andrea Hirata. Wajar dua novel tersebut meraih predikat bestseller karena kedua penulisnya mampu menghadirkan realitas alternative ke hadapan public sehingga mampu menyaingi kehadiran novel thriller yang kebanyakan dari penulis luar negeri (rata-rata bestseller di negaranya masing-masing kemudian di alih bahasakan ke Indonesia), mereka berdua telah melewati tahap imajinasi yang berbuah karya brilian. Untuk yang pertama, AAC berhasil membawa pembaca ke belahan dunia lain, dunia mahasiswa Indonesia di Mesir, penonjolan budaya Indonesia di rantauan dan sekaligus mengarahkan pembacanya untuk memahami ajaran Islam yang peka atas realitas social, cinta damai disusul pluralitas tak terbantah dalam hidup, menceritakan ajaran agama yang humanis dengan representasi bangunan karakter tokoh Fahri, Aisha dan Maria. Dan kedua, LP juga tak ubahnya pelengkap dari AAC, kenapa saya menyatakan demikian? Sebab, menurut hemat saya LP mengajak kita untuk menguliti lokalitas, meneropong khazanah Nusantara yang begitu luas, lewat budaya dimana Andrea hidup, dapat dilihat sebagai salah satu dari ribuan kekayaan budaya Nusantara, adapun tokoh-tokoh kecil tanpa dosa korban kelalaian Negara yang juga anggota LP itu tergambar ketegaran anak manusia Indonesia menghadapi hidup, ketegaran yang hanya didukung kekuatan Cita-Cita. Aroma cinta pada kedua novel, AAC dan LP, menjadi nilai tambah karena dengan pendekatan cinta dunia terasa indah seindah untaian kata-kata yang mengalir secara alamiah bersumber dari cinta itu sendiri.

Selanjutnya di dunia perfilman (narsis banget ya, kayak pakar buku dan film aja), dari pengamatan saya sendiri, Denias, Naga Bonar Jadi 2, Get Married, Ayat-ayat Cinta (urutan berdasarkan tahun produksi), adalah empat judul film tanah air yang, menurut hemat saya pantas mengisi deretan box office, layak mendapatkan bintang lima. Keempat film juga tidak jauh berbeda dengan uraian buku di atas, namun film-film ini lebih ekspressif jika dibanding novel meski kering imajinasi.

Pertama, Denias yang pada akhir 2007 juga meraih penghargaan pada festival film Cannes, Perancis sebuah penghargaan cukup prestisius di kancah internasional, film yang mengisahkan tentang dunia anak-anak di Penjuru Timur Indonesia yang ingin sekolah namun terbentur oleh infrastruktur, memotret dunia pendidikan dan pembangunan yang tidak merata, pemerintah daerah tidak mampu mengelola APBD secara merata begitu juga dengan orang pusat yang hanya datang ke daerah pada saat-saat tertentu (kita tahu sendiri betapa bobroknya etika politik di tanah air, rata-rata menjadi mesin politik pada saat suksesi kepemimpinan baik di pusat maupun daerah, setelah duduk di pemerintahan, mereka akan berkata kira-kira seperti ini 'selamat tinggal para pemilih, kini kami melalui kursi pemerintahan ingin memperkaya tim sukses kami yang dulu membawa kami menuju tampuk kekuasaan", walaupun tidak semua politisi tanah air seperti itu). Karakter film Denias cukup kuat. Kedua, film Naga Bonar olahan tangan dingin Dedi Mizwar juga sarat dengan kritik social tanah air, penuh pesan positif, mengajak kita untuk tetap membela para pahlawan bangsa dan menjunjungtinggi nasionalisme walaupun di dunia korporasi liberal seperti saat ini.

Ketiga, Get Married, permulaan film di awali dengan narasi kritik social, mengisahkan tentang persahabatan anak kampung yang kelak menjadi pengangguran di tengah arus metropolitan, juga menguraikan tentang dampak buruk dari penyelewengan dana oleh oknum pemerintah, menceritakan kepada kita tentang kesenjangan social yang sering terjadi antara si kaya dan si miskin dengan symbolisasi warga kampung merepresentasikan kemiskinan dan warga komplek si kaya, dibumbui dengan anarkisme keindonesiaan, logika tak lagi berfungsi ketika solidaritas kekerasan terbangun, bagi masyarakat Indonesia dalam film ini anarkisme adalah solusi paling cepat untuk mennyelesaikan persoalan, namun semua itu terlampaui ketika cinta berada di garda terdepan.

Keempat, Ayat-ayat Cinta yang juga diadopsi dari novel Habiburrahman mengakhiri petualangan kita di belantara cinta (untuk sementara) sampai pada awal 2008 ini. Pun dalam film ini tidak jauh berbeda dengan kisah yang ada dalam novelnya, meski ada beberapa adegan dalam novel tidak diolah apa adanya dan hal itu wajar karena pilihan untuk menghilangkan beberapa adegan di novel sangat menyesesuaikan dengan dunia perfilman, asumsi saya, penghilangan beberapa adegan agar memudahkan produser mengekspersikan dunia novel dalam dunia semi-nyata (film), beberapa rintangan berat tampaknya berhasil dilewati oleh kru film ini, sebab mereka dengan dunia filmnya mampu mendeskripsikan ajaran agama secara sederhana dan mudah diterima banyak kalangan, salah satunya menghadirkan poligami yang kontroversial di tanah air dengan pendekatan yang cukup hati-hati, dan pada akhirnya cinta sulit dilukiskan dengan kata-kata, cinta mereduksi logika, cinta, cinta…..ya, cinta.

Demikianlah, sedikit pandangan pribadi tentang dunia perbukuan dan perfilman Indonesia. Membaca novel berkualitas dengan ketebalan di atas 300 halaman oleh masyarakat luas untuk konteks saat ini patut diapresiasi, apalagi ketika kita melihat para pecandu Harry Potter di negeri ini yang merelakan 'begadang' demi menanti launch resmi novel imajinatif karya JK Rowling, antusiasme para pembaca Indonesia dapat dijadikan sinyalemen positif bagi pemangku kebijakan, bahwa masyarakat kita telah mulai, bahkan telah lama mulai, menikmati iklim literasi, sayangnya akses terhadap literatur itu masih parsial, elitis, dikonsumsi masyarakat tertentu.

Sarannya, agar harga kertas lebih murah, penulis, penerbit dan pemerintah bergerak bersama untuk kepentingan bersama tanpa menapikan aspek ekonomis dunia buku, untuk mensupport antusiasme yang sedang bergeliat itu. Budaya literasi bagian dari fondasi peradaban. Eureka!!!