October 14, 2011

Cinta Sultan Untuk Rakyatnya

Wacana tentang penetapan jabatan Gubernur DIY kembali mengemuka. Sebab tidak lama lagi surat keputusan terkait penetapan gubernur dan wakil gubernur akan segera berakhir Oktober mendatang. Perdebatan lama memang masih seputar apakah posisi gubernur DIY ditetapkan atau dipilih secara langsung seperti sebagian besar daerah di Indonesia melalui Pemilukada.
Ketika sejumlah elit politik mempertanyakan keistimewaan DIY justru menjadikan buku ini sangat relevan untuk dijadikan referensi membaca sejarah perjalanan bangsa Indonesia sekaligus bagaimana Yogyakarta menjadi penopang kemerdekaan, khususnya pada masa revolusi kemerdekaan 1945-1949. Andai Sultan Hamengkubuwono IX pada masa itu tidak menyediakan Yogya sebagai tempat mengungsi pemimpin republik sekaligus ibu kota sementara maka kita tidak akan pernah tahu seperti apa bangsa Indonesia dapat mempertahankan kemerdekaannya.

Dan, jauh sebelum itu Sultan Yogya juga telah menujukkan komitmen kebangsaannya dengan menyambut proklamasi kemerdekaan oleh dwi tunggal tanpa merasa kehilangan sedikitpun wibawa dan prestis sebagai raja di saat para raja di sebagian daerah masih mengangunggkan posisi itu dan berharap bisa melestarikannya.
Buku ini merupakan cuplikan kisah seorang sultan Hamengkubuwono IX yang pada masa itu selain sebagai raja, ia juga merangkap menjadi pejuang kemerdekaan bersama rakyat turun ke medan juang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sultan memilih hidup menderita bersama bangsa Indonesia ketimbang memilih tawaran menggiurkan dari Belanda dengan iming-iming menjadikan Sultan sebagai raja di daratan pulau jawa.
Ia dikenal ramah dengan rakyatnya tetapi tidak kenal kompromi jika berhadapan dengan Belanda. Para pendahulunya di kesultanan boleh saja dikelabui oleh Belanda karena illiterate tidak paham karakter Belanda, tetapi hal itu tidak berlaku baginya, terlihat ketika ia mengkritisi kontrak yang diajukan Gubernur belanda perihal penetapan dirinya sebagai Sultan disertai permintaan sejumlah kompensasi dari Sultan. Sultan menolak dan bernegosiasi hingga berbulan-bulan, sehingga membuat Gubernur Belanda hampir prustasi.
Bukan tanpa sebab Sultan berlaku seperti itu mengingat sejak menjadi mahasiswa ia telah banyak belajar untuk menjadi kritis terhadap Belanda sekalipun, dalam sebuah kesempatan ia misalnya mengatakan: “Saya merasa dapat menyelami karakter orang Belanda melalui pendidikan dan pergaulan dengan Belanda. Ini akan sangat membantu bagi siapapun yang dalam pekerjaannya akan selalu berhubungan dengan Belanda” (Halaman 21).
Bagi-bagi Duit
Dalam buku ini banyak dikisahkan fragmen-fragmen sejarah yang melibatkan Sultan sebagai salah satu pejuang kemerdekaan, berdedikasi untuk kepentingan kraton, rakyat dan republik Indonesia. Pada masa revolusi, seperti dikisahkan Ny Hatta, para pemipin republik hijrah ke Yogya dengan tanpa membawa bekal yang cukup, secara diam-diam tanpa sepengetahuan Belanda Sultan lewat orang kepercayaannya membagi-bagikan uang kepada para pemimpin dan pejuang Indonesia, Ny Hatta mengaku kaget ketika tiba-tiba seseorang datang ke rumahnya memberikan sejumlah uang gulden, uang tersebut sangat dibutuhkan untuk menopang hidup. Momen itu begitu berkesan bagi istri Bung Hatta ini dan menyimpan sisa uang pemberian itu hingga Indonesia merdeka sebagai kenangan tak ternilai dari Pak Sultan (Halaman 235).
Cerita unik dari Sultan HB IX  yang dikenal suka menyetir mobil sendiri ini—perjalanan Jakarta-Yogya sekalipun, misalnya ketika ibu pedagang menganggap Sultan layaknya sopir pada umumnya sehingga si ibu meminta tumpangan hingga pasar Beringharjo dan memberi ongkos secukupnya, namun ketika mengetahui sopir tersebut tiada lain adalah ngarso dalem kabarnya ibu pedagang itu kaget dan pingsan.
Buku ini juga banyak mengulas perjalanan Sultan yang sedari kecil terlah diajarkan hidup sederhana oleh orang tuanya Sultan HB VIII, dengan nama kecil Darmono ia dititipkan di rumah keluarga Belanda, dengan harapan agar ia dapat merasakan bagaimana kehidupan rakyat sehingga kelak ketika ia menjadi pemimpin dapat berempati kepada orang-orang yang dipimpinnya. Hingga saat ia studi ke negeri Belanda pun hal serupa masih tetap dilakukan oleh Sultan HB VIII.
Awalnya buku ini didedikasikan untuk menyambut ulang tahun Sultan yang ketujuh puluh pada tahun 1982 tetapi dilakukan penyegaran ulang dengan menambahkan beberapa tulisan yang relevan disertai sampul baru sehingga terlihat lebih elegan, berisi pengakuan Sultan sepanjang karirnya mengabdikan tahtanya untuk rakyat Yogya sembari bahu membahu membesarkan republik muda bernama Indonesia dengan mengemban amanah sebagai menteri hingga wakil presiden. Pengakuan Sultan dikuatkan pula oleh testimoni para pelaku sejarah yang pernah bertemu dengan Sultan di masa-masa perjuangan dari berbagai latar belakang.
Dengan demikian kehadiran buku ini sangat penting bagi generasi sekarang untuk dapat mengamati sosok seorang pemimpin yang mendedikasikan dirinya untuk kepentingan bangsa. Sekaligus sebagai cermin bagi para pemimpin masa kini yang gemar berbasa-basi.

Indeks:
Judul: Tahta Untuk Rakyat, Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX
Penyunting : Atmakusumah
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal : 437 +xlvi halaman
Cetakan : Keempat, 2011
Harga : Rp. 78.000,-

No comments: