Wacana tentang penetapan
jabatan Gubernur DIY kembali mengemuka. Sebab tidak lama lagi surat keputusan
terkait penetapan gubernur dan wakil gubernur akan segera berakhir Oktober
mendatang. Perdebatan lama memang masih seputar apakah posisi gubernur DIY
ditetapkan atau dipilih secara langsung seperti sebagian besar daerah di
Indonesia melalui Pemilukada.
Ketika sejumlah elit politik
mempertanyakan keistimewaan DIY justru menjadikan buku ini sangat relevan untuk
dijadikan referensi membaca sejarah perjalanan bangsa Indonesia sekaligus
bagaimana Yogyakarta menjadi penopang kemerdekaan, khususnya pada masa revolusi
kemerdekaan 1945-1949. Andai Sultan Hamengkubuwono IX pada masa itu tidak
menyediakan Yogya sebagai tempat mengungsi pemimpin republik sekaligus ibu kota
sementara maka kita tidak akan pernah tahu seperti apa bangsa Indonesia dapat
mempertahankan kemerdekaannya.
Dan, jauh sebelum itu Sultan
Yogya juga telah menujukkan komitmen kebangsaannya dengan menyambut proklamasi
kemerdekaan oleh dwi tunggal tanpa merasa kehilangan sedikitpun wibawa dan
prestis sebagai raja di saat para raja di sebagian daerah masih mengangunggkan
posisi itu dan berharap bisa melestarikannya.
Buku ini merupakan cuplikan
kisah seorang sultan Hamengkubuwono IX yang pada masa itu selain sebagai raja,
ia juga merangkap menjadi pejuang kemerdekaan bersama rakyat turun ke medan
juang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sultan memilih hidup
menderita bersama bangsa Indonesia ketimbang memilih tawaran menggiurkan dari
Belanda dengan iming-iming menjadikan Sultan sebagai raja di daratan pulau
jawa.
Ia dikenal ramah dengan
rakyatnya tetapi tidak kenal kompromi jika berhadapan dengan Belanda. Para
pendahulunya di kesultanan boleh saja dikelabui oleh Belanda karena illiterate tidak paham karakter Belanda,
tetapi hal itu tidak berlaku baginya, terlihat ketika ia mengkritisi kontrak
yang diajukan Gubernur belanda perihal penetapan dirinya sebagai Sultan
disertai permintaan sejumlah kompensasi dari Sultan. Sultan menolak dan
bernegosiasi hingga berbulan-bulan, sehingga membuat Gubernur Belanda hampir
prustasi.
Bukan tanpa sebab Sultan
berlaku seperti itu mengingat sejak menjadi mahasiswa ia telah banyak belajar
untuk menjadi kritis terhadap Belanda sekalipun, dalam sebuah kesempatan ia
misalnya mengatakan: “Saya merasa dapat menyelami karakter orang Belanda
melalui pendidikan dan pergaulan dengan Belanda. Ini akan sangat membantu bagi
siapapun yang dalam pekerjaannya akan selalu berhubungan dengan Belanda”
(Halaman 21).
Bagi-bagi Duit
Dalam buku ini banyak
dikisahkan fragmen-fragmen sejarah yang melibatkan Sultan sebagai salah satu
pejuang kemerdekaan, berdedikasi untuk kepentingan kraton, rakyat dan republik
Indonesia. Pada masa revolusi, seperti dikisahkan Ny Hatta, para pemipin
republik hijrah ke Yogya dengan tanpa membawa bekal yang cukup, secara
diam-diam tanpa sepengetahuan Belanda Sultan lewat orang kepercayaannya
membagi-bagikan uang kepada para pemimpin dan pejuang Indonesia, Ny Hatta mengaku
kaget ketika tiba-tiba seseorang datang ke rumahnya memberikan sejumlah uang
gulden, uang tersebut sangat dibutuhkan untuk menopang hidup. Momen itu begitu
berkesan bagi istri Bung Hatta ini dan menyimpan sisa uang pemberian itu hingga
Indonesia merdeka sebagai kenangan tak ternilai dari Pak Sultan (Halaman 235).
Cerita unik dari Sultan HB
IX yang dikenal suka menyetir mobil
sendiri ini—perjalanan Jakarta-Yogya sekalipun, misalnya ketika ibu pedagang
menganggap Sultan layaknya sopir pada umumnya sehingga si ibu meminta tumpangan
hingga pasar Beringharjo dan memberi ongkos secukupnya, namun ketika mengetahui
sopir tersebut tiada lain adalah ngarso
dalem kabarnya ibu pedagang itu kaget dan pingsan.
Buku ini juga banyak
mengulas perjalanan Sultan yang sedari kecil terlah diajarkan hidup sederhana
oleh orang tuanya Sultan HB VIII, dengan nama kecil Darmono ia dititipkan di
rumah keluarga Belanda, dengan harapan agar ia dapat merasakan bagaimana kehidupan
rakyat sehingga kelak ketika ia menjadi pemimpin dapat berempati kepada
orang-orang yang dipimpinnya. Hingga saat ia studi ke negeri Belanda pun hal
serupa masih tetap dilakukan oleh Sultan HB VIII.
Awalnya buku ini
didedikasikan untuk menyambut ulang tahun Sultan yang ketujuh puluh pada tahun
1982 tetapi dilakukan penyegaran ulang dengan menambahkan beberapa tulisan yang
relevan disertai sampul baru sehingga terlihat lebih elegan, berisi pengakuan
Sultan sepanjang karirnya mengabdikan tahtanya untuk rakyat Yogya sembari bahu
membahu membesarkan republik muda bernama Indonesia dengan mengemban amanah
sebagai menteri hingga wakil presiden. Pengakuan Sultan dikuatkan pula oleh
testimoni para pelaku sejarah yang pernah bertemu dengan Sultan di masa-masa perjuangan
dari berbagai latar belakang.
Dengan demikian kehadiran
buku ini sangat penting bagi generasi sekarang untuk dapat mengamati sosok
seorang pemimpin yang mendedikasikan dirinya untuk kepentingan bangsa.
Sekaligus sebagai cermin bagi para pemimpin masa kini yang gemar berbasa-basi.
Indeks:
Judul: Tahta Untuk Rakyat, Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX
Judul: Tahta Untuk Rakyat, Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX
Penyunting : Atmakusumah
Penerbit: Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta
Tebal : 437 +xlvi halaman
Cetakan : Keempat, 2011
Harga : Rp. 78.000,-
No comments:
Post a Comment