November 30, 2010

Pak SBY Belum (Sepenuhnya) Paham Demokrasi dan Monarki

12911130871094836363

Pak SBY dalam sebuah pidato (sumber/google)

Tiba-tiba saja Presiden SBY bicara monarki di depan para menterinya dalam sebuah rapat kabinet. Dengan ekspressi serius Pak SBY berbicara panjang lebar tentang demokrasi dan tidak boleh ada monarki yang bertentangan dengan konstitusi dan nilai demokrasi yang tengah berjalan. Pernyataan di ruang rapat itu disorot media, disaksikan seluruh rakyat Indonesia, tidak terkecuali masyarakat Yogyakarta dan setiap orang yang memiliki kedekatan dengan Yogyakarta. Dan, Sultan beserta masyarakat Yogya lah yang paling merasa disebut terkait pernyataan itu. Lho kok, Pak SBY tiba-tiba bicara monarki? Apa gerangan?

Pernyataan Pak SBY mendapat kritik dari sejumlah pihak, mulai dari pengamat pemerintahan, pengamat konstitusi, sosiolog, tokoh bangsa dan tidak terkeculai lawan politik Pak SBY. Tapi dari perspektif masyarakat biasa seperti kita yang tidak pernah menganggap dan dianggap lawan politik Pak SBY, bahwa pernyataan Pak SBY sangat tidak tepat, mengapa, alasannya adalah:

1. Setiap orang di negeri ini paham betul posisi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai salah satu Daerah Istimewa di Indonesia, tidak ada protes dari masyarakat Indonesia tentang penggunaan kata “Istimewa” bagi provinsi ini, sejak duduk di bangku sekolah kita hapal betul di Indonesia hanya ada tiga daerah yang punya nama sendiri yakni DKI, DIY, NAD. Tidak ada masalah sampai di situ.

2. Yogyakarta dalam sejarah republik ini tidak pernah menjadi daerah terjajah oleh bangsa asing, bisa saja Sultan HB IX mengabaikan nasib NKRI dengan menikmati fasilitas-fasilitas istimewa yang diberikan Belanda karena menghargai institusi Kraton, tetapi Sultan HB IX justru memilih menderita bersama-sama dengan masyarakat NKRI yang lain. Itulah alasan mengapa Yogyakarta tahun 1945-47 bersedia menjadi Ibu Kota cadangan “Ibu Kota Revolusi” sementara Belanda belum berhenti melakukan agresi di Indonesia.

3. Sejumlah pengamat sejarah juga meyakini bahwa DIY mendapat predikat istimewa atas jasa besarnya untuk menyelamatkan kemerdekaan Indonesia yang kala itu masih seumur jagung. Kita sarankan agar para pengambil kebijakan untuk melihat-lihat kembali data sejarah agar tidak “ngawur” dalam bicara.

4. Ketika Pak SBY berbicara Demokrasi dan menganggap masih ada sistem monarki yang bertentangan dengan nilai demokrasi dan konstitusi di Indonesia. Kita patut bertanya, bukankah selama ini di Yogyakarta praktek demokrasi berjalan terus tanpa harus menggusur Kraton. Sultan bekerja sebagai gubernur, urusan legislasi diatur DPRD, mekanisme pemilihan wakil rakyat melalui pemilu. Pak SBY lupa, di Inggris, Thailand, Malaysia, monarki masih berjalan sebagaimana biasanya dan tidak digusur lantaran demokrasi hendak dilaksanakan. Dan tidak ada persoalan bukan?

5. Barangkali, karena RUUK DIY sedang menjadi agenda legislasi di DPR yang sebelumnya terkatung-katung, Pak SBY ingin menyemarakkan legislasi itu dan DPR serius membahasnya. Entahlah, tetapi tetap saja pernyataan Pak SBY yang terlalu “teoritis tentang demokrasi” membuat banyak orang tidak nyaman mendengar pernyataan itu karena NKRI menjadi pertaruhan.

Akhir kata, perkataan dan ucapan pejabat publik sangat mempengaruhi situasi republik ini, damai atau ribut ditentukan oleh kecakapan pejabat publik mengelola perkataannya.

12911136671018670535

Kraton sebagai simbol monarki Yogyakarta (photo/yahoo)

Sebelumnya saya posting di Kompasiana, 17.45

No comments: