October 25, 2010

Apa!?, DPR Ke Yunani Hendak Bertemu Plato dan Aristoteles

Mbah Maridjan dalam diam dan kearifan (ilustrasi/google)

Mbah Maridjan dalam diam dan kearifan menjaga Merapi (ilustrasi/google)

Belum selesai kontroversi yang satu datang kontroversi yang lain. DPR memang tidak pernah sepi dari urusan kontroversi. Namun sayang kontroversi yang dimunculkan DPR bukan sesuatu yang menyangkut sikap kritis mereka terhadap pemerintah atau sikap kritis untuk menghasilkan produk undang-undang yang berkualitas.

Kontroversi itu bisa juga disebut kekonyolan. Saya kira ada banyak tulisan dan postingan yang mengulas tentang perjalanan sekaligus studi banding Badan Kehormatan, Anggota dan Staf Ahli dari lingkungan DPR ke Yunani. Saya sendiri tergerak untuk menulis tentang ini karena membaca editorial Media Indonesia sabtu kemarin (23/10), disitu disebutkan 8 perangkat DPR akan berkunjung ke Yunani untuk melakukan studi banding terkait bagaimana parlemen Yunani menjalankan aktifitasnya. Dua point yang konyol dan aneh dari rencana DPR itu adalah:

1. DPR akan belajar di Yunani tentang bagaimana cara parlemen di negara yang belum pulih dari krisis keuangan itu ber-interupsi kala sidang berlangsung, apakah angkat tangan, angkat kaki, menggertak meja, angkat kursi dan seterusnya.

2. Salah satu komentar anggota DPR seperti disebut MI yang konyol menurut saya, “Kami bisa banyak belajar di sana karena Plato dan Aristoteles berasal dari sana,” kata Nurdin.

Untuk point pertama, interupsi hanyalah persoalan teknis dalam persidangan. Substansi dari sidang anggota DPR adalah bagaiamana agar argumentasi setiap anggota dapat diterima dengan memberikan keyakinan kepada anggota yang lain dengan jalur nalar yang sehat, semakin sehat nalar peserta sidang maka argumentasinya akan lebih mudah diterima. Sekali lagi, interupsi hanyalah bagian pinggir yang tidak terlau penting dalam persidangan, bisa dilakukan sambil SMS, sambil bersiul, atau sambil merokok. Untuk tidak mengatakan interupsi tidak penting sama sekali.

Untuk point kedua, apakah anggota dewan yang mengucapkan kalimat itu benar-benar sadar? Saya kira…..entahlah. Tidak ada yang salah untuk mengadopsi kebijaksanaan dan etika nilai yang lahir dari dua filosuf di atas, tetapi salah besar jika belajar ke Yunani untuk mengetahui ajaran mereka. Dua filosuf itu telah terkubur secara fisik bahkan ajarannya pun mulai ditinggalkan oleh masyarakat modern, disamping karena penemuan baru semakin banyak bermunculan dari kalangan ilmuan postmodernisme yang suka dengan term dekonstruksi, juga karena Plato dan Aristoteles tidak pernah bertemu dengan suasana persidangan seperti yang dihadapi DPR sekarang.

Atau, kalaupun harus belajar dari mereka tidak harus datang ke Yunani, karena Yunani saat ini lebih cocok untuk dijadikan tujuan wisata dan pemerintah Yunani pun menggenjot promosi wisata, datang saja ke kampus-kampus di Indonesia. DPR bisa menemukan begitu banyak guru besar atau yang hampir menjadi guru besar karena banyak meneliti tentang filsafat dari jaman kuno sampai jaman post-modern, Plato dan Aristoteles adalah bagian kecil dari kapasitas mereka. Datangkan guru besar itu jika ingin tahu bagaimana konsep etika filosuf dan kecocokannya dengan di Indonesia. Dari segi ongkos tentu lebih murah. satu persen dari ongkos ke Yunani yang mencapai angka 1.4 milyar rupiah.

DPR juga tentu perlu berkaca pada kearifan yang ada di tanah air. Tidak sedikit kebijaksanaan lahir dari anak bangsa ini. Sebut saja salah satunya adalah Mohammad Hatta, sang proklamator yang banyak menulis tentang filsafat. Bukunya yang terkait dengan filsafat adalah “Alam Pikiran Yunani,”–Plato dan Aristoteles adalah bagian kecil yang dikunyah Bung Hatta. Dari hasil berfikir Bung Hatta mewarisi filsafat politik luar negeri Indonesia yang “Bebas Aktif”, hingga hari ini masih menjadi pedoman republik ini berinterasi dalam hubungan antar negara. Buah pikiran yang brilian untuk membawa Indonesia dari kemelut. Hatta juga dikenal sebagai peletak dasar demokrasi Indonesia. Salah besar jika melewatkan Hatta yang tahu betul bagaimana mengelola Indonesia.

Selain kearifan yang diwariskan Bung Hatta, kearifan yang juga tidak boleh dilewatkan adalah sosok yang selalu setia menunggu Merapi walaupun berstatus siaga, dialah filosof yang masih hidup dan menjadi pengawal Merapi, Mbah Marijan. Mbah Maridjan dalam banyak kesempatan menolak berfikir mainstream, di saat pemerintah melalui teori ilmiah mengatakan Merapi tidak lama lagi akan meletus, tetapi Mbah Marijan berkeyakinan sebaliknya. Ia tetap di lereng Merapi dan akan turun ke tempat yang aman sampai ada instruksi dari Sultan. Mbah Marijdan yang juga model iklan “roso!!” yakin tugasnya sebagai abdi dalem adalah menjalankan perintah Sultan tanpa intrupsi sedikitpun, SK yang dikeluarkan pihak Kraton sejak ia menjabat awal mula adalah menjaga Merapi, si Mbah pasti turun gunung manakala Sultan meminta, itulah filosofi kesederhanaan untuk merelakan diri bagi kepentingan lebih luas.

Jika anggota dewan hendak studi banding ke Mbah Maridjan cukup dengan membayar tiket pesawat tujuan Jakarta-Jogja. Murah bukan?

Grafis filsuf tengah berdiskusi dan berinterupsi (ilustrasi/google)

Catatan: sebelumnya saya posting di kompasiana (24/10)

No comments: