September 28, 2010

Farah Quinn Menggendong Globalisasi

Siapa yang belum kenal Farah Queen?! Angkat tangan. Itu lho koki cantik nan seksi yang sering muncul di televisi sebagai bintang iklan seputar dapur dan masak-masak. Farah yang pernah lama tinggal di negeri Abang Sam menggeluti dunia perkokian hadir menyegarkan selera masak Nusantara, kehadirannya dalam program masak-masak di hari libur seperti melanjutkan estapet generai masak yang sebelumnya dipegang Bondan Winarno dengan slogan ”Mak Nyus”-nya.

Setahu saya, meski tidak mengikuti tiap episodenya, Farah Queen telah mengeksplorasi masakan Nusantara dari Barat ke Timur. Ada beragam masakan tanah air yang ditampilkan. Mulai dari yang manis-manis sampai ke yang pedas-pedas.

Perjumpaannya dengan makanan khas lokal di sejumlah daerah yang dikunjunginya bersama stasiun Trans Tv menjadikan makanan yang ”terpinggirkan” dari arena makananan fast food itu kembali mendapat tempat di publik tanah air. Masyarakat kita disadarkan akan kekayaan dan keanekaragaman makanannya: ”wow, ternyata makanan tradisional itu bisa menjadi sesuatu yang modern!”, kira-kira begitulah respon sejumlah pemirsa ketika menyaksikan acara kuliner itu.

Memang liputan seputar kuliner yang belakangan menjadi opsi pemberitaan sejumlah stasiun televisi tanah air cukup membantu memberikan referensi bagi masyarakat multimedia terkait kuliner yang menjadi favorit di sejumlah daerah. Sehingga bagi yang hendak bepergian ke seluruh penjuru negeri memiliki bekal sarapan, makan siang atau makan malam yang berkesan.

Tenyata cukup variatif makanan kita. Ini sekaligus mengingatkan saya pada beberapa judul film seperti ”Ratatouille” film kartun dengan setting Perancis yang bercerita tentang rahasia masakan sebuah restoran legendaris yang sangat tersohor, kemudian ”New in Town” film tentang relasi pekerja-perusahaan yang diperankan oleh Rene Zellwenger dalam film ini salah satu yang menarik adalah adanya resep makanan dari ibu-ibu di kampung kecil yang hak patennya dibeli oleh perusahaan sehingga si ibu dan perusahaan sama-sama mendapat keuntungan.

Jadi, point saya adalah, perlu bagi kita untuk menjaga kelestarian makanan khas Nusantara itu dan mematenkannya seperti yang rajin dilakukan negara-negara tetangga semisal Malaysia yang merujuk tradisi ”patenisasi” negara-negara industri. Jangan sampai kita terlena dalam kebanggaan semu tentang keanekaragaman makanan dan dimanfaatkan oleh bangsa lain.

Hal lainnya adalah, Farah Queen tentu bukan satu-satunya faktor penentu konservasi masakan Nusantara, tetapi secara teoritis kehadiran sosok ini mampu meng-upgrade produk lokal masuk ke dalam jaringan perdagangan global, teori yang sering digunakan para penstudi hubungan internasional dalam menjelaskan ini biasa dikenal dengan Global Value Chain. Keberhasilan menggunakan pendekatan ini bisa dilihat dalam produk-produk makanan semisal Mac Donald, Starbucks, KFC, Oh La La, dan lain-lain. Kesemua produk global ini awalnya hanya dari kios-kios biasa di daerahnya, tetapi kini bisa ditemukan di Amerika, Perancis, Timur Tengah, Indonesia, Afrika.

Awal 2010 arena globalisasi itu semakin kasat mata, China membuat kita tersadar bahwa globalisasi memang telah lama masuk ke ruang-ruang privat kita baik di sumur, kasur maupun dapur.

Rekomendasinya adalah, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdaganagan barangkali telah melirik sosok Farah Queen atau yang seprofesi dengannya, kalau belum ajaklah untuk bergabung sebagai duta masakan Nusantara, kesempatan untuk mematenkan masakan Nusantara itu belum terlambat, dan yang lebih penting lagi adalah mensosialisikan kepada masayarakat kita untuk ramai-ramai memaksimalkan kuliner sebagai salah satu peluang bisnis yang menjanjikan.

Dengan harapan, kita tidak lagi khawatir dengan globalisasi karena ada mbak Farah Queen yang bisa menggendong produk lokal ke arena global.

(M Sya’roni Rofii)

Catatan: tulisan ini pernah saya posting di Kompasiana.

No comments: